Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pelanggaran HAM di Myanmar, Marzuki Darusman, menganggap ada masalah yang lebih pantas diperhatikan ketimbang isu agama dalam konflik yang menimpa etnis minoritas Muslim Rohingya di Rakhine.
Isu agama ras selalu membayangi persekusi yang dilakukan militer negara berpenduduk mayoritas Buddha itu. Namun hal yang mesti digarisbawahi saat ini adalah fakta bahwa telah terjadi konflik kemanusiaan yang diperkirakan telah menelan sedikitnya 1.000 jiwa dan memaksa ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal.
"Saat ini kita bisa katakan sudah terjadi konflik komunal antara kelompok masyarakat di Rakhine. Tidak bisa terelakkan juga adanya gelombang pengungsi. Malah ada yang lebih serius dari konflik agama [di sini], yaitu konflik kemanusiaan," kata Marzuki dalam wawancara khusus di kantor
CNNIndonesia.com, Jakarta, Kamis (28/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, berdasarkan temuan awal timnya, Marzuki mengatakan kekerasan tidak hanya terjadi di Rakhine tapi juga sejumlah wilayah lainnya di Myanmar. Eks jaksa agung 1999-2001 itu juga memaparkan bahwa persekusi dan diskriminasi tidak hanya menyasar etnis Rohingya, tapi juga beberapa etnis minoritas lainnya.
"Ada sekitar 135 etnis di Myanmar. Sekarang mungkin bisa dikatakan bahwa pemerintah Myanmar sedang berhadapan dengan 10 konflik etnis secara serentak. Bayangkan rumitnya konflik di sana dan ini berhubungan dengan integrasi nasionalnya," papar Marzuki.
Merdeka sejak 1948, Myanmar tidak langsung menjadi negara demokrasi. Selama 49 tahun sejak 1962, negara di Asia Tenggara itu sempat dikuasai oleh pemerintah junta militer.
Transisi politik baru terjadi pada 2011 lalu saat militer Myanmar akhirnya bersedia mengalihkan sebagian kekuasannya dan membentuk pemerintahan sipil.
Meski pemilu November 2015 lalu dimenangkan oleh Aung San Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), nyatanya militer masih menguasai 25 persen kursi parlemen.
 Etnis Rohingya bukan satu-satunya korban gesekan etnis di Myanmar. (REUTERS/Danish Siddiqui) |
Di satu sisi, sejarah Myanmar pun telah lama diwarnai dengan pergolakan antar-etnis. Marzuki mencontohkan, konflik komunal juga kerap terjadi antara suku minoritas Kachin dan Kokang di negara bagian Kachin, utara Myanmar yang berbatasan langsung dengan China.
Sekitar Maret lalu, ribuan warga Myanmar di perbatasan Kachin dilaporkan melarikan diri ke China setelah setidaknya 30 orang tewas dalam bentrokan antara militer dan pemberontak Kokang di Kota Laukkai.
Pada awal Agustus 2009 lalu, konflik yang dikenal sebagai insiden Kokang juga pecah di negara bagian Shan. Selama berminggu-minggu junta militer dilaporkan mengalami bentrok dengan etnis minoritas termasuk suku Han China, Wa, dan Kachin.
"Sejarah Myanmar adalah sejarah yang penuh diwarnai konflik etnis pada awal-awal berdirinya negara itu. Ini persoalan yang umumnya dihadapi setiap negara--tidak hanya Myanmar--khususnya yang memiliki multi etnis pasti melewati dinamika dalam proses pengintegrasian nasional di awal-awal pembentukan negaranya," kata Marzuki.
"Satu konflik komunal ini pun tidak lepas dari konflik lainnya. Dengan demikan konflik di Rakhine juga punya dampak ke wilayah lain sehingga masalah ini tidak berdiri sendiri. Konflik [kemanusiaan] pun dirasakan oleh etnis lain."
Marzuki Darusman berbincang panjang lebar mengenai persoalan yang menimpa etnis minoritas Rohingya. Simak wawancara dengan Marzuki selengkapnya di kanal internasional CNNIndonesia.com pekan depan.