Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah terus mengelak, Kepala Parlemen Rakhine, San Kyaw Hla, akhirnya menyiratkan pengakuan bahwa militer Myanmar kerap membunuh orang Rohingya yang tak bersalah karena tak punya pilihan.
Hla mengatakan, militer terpaksa membunuh orang dari etnis minoritas Muslim Rohingya karena kerap dijadikan tameng manusia oleh kelompok bersenjata Pasukan Pelindung Rohingya Arakan (ARSA).
Sementara itu, militer harus memberangus ARSA karena dianggap menimbulkan keresahan setelah melancarkan serangan ke sejumlah pos polisi dan pangkalan militer di Rakhine pada 25 Agustus lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apakah mungkin mengidentifikasi teroris di tengah kerumunan dan hanya menembak mereka? Apakah kami harus diam saja? Saya tidak mau mengatakan kami benar-benar adil atau apa yang dilakukan militer benar, tapi kami tidak punya pilihan," ujar Hla kepada
Channel NewsAsia.
Dalam wawancara khusus itu, Hla pun mengakui bahwa operasi pembersihan militer itu sudah merenggut banyak nyawa tak berdosa.
Namun, ia juga mempertanyakan tindakan yang akan diambil oleh "negara paling berkuasa di dunia" sekali pun jika kondisi di Myanmar terjadi di negara mereka sendiri.
Hla kemudian menuturkan, kini warga lokal Rakhine tidak menyukai komunitas internasional dan media asing karena terlalu bias dan terus membela Muslim tanpa mengetahui duduk permasalahan di Myanmar.
"Media hanya melaporkan militer menggunakan kekuatan mereka. Mereka tahu teroris mau mendirikan negara, tapi mereka tidak melaporkannya. Mereka tidak bertanya mengapa sejumlah Muslim masih bisa hidup tenang di sini," katanya.
[Gambas:Video CNN]Selama ini, pemerintah Myanmar memang selalu mengklaim bahwa Rohingya, terutama ARSA, merupakan separatis yang ingin mendirikan negara sendiri.
Di sisi lain, ARSA sendiri mengklaim bahwa beraksi untuk memperjuangkan hak-hak bagi Rohingya yang selama ini kerap didiskriminasi karena tak diakui sebagai warga negara meski sudah hidup berpuluh tahun di Myanmar.
Sementara itu, Myanmar terus menutup diri dari pihak asing yang ingin menyelidiki situasi di Rakhine, termasuk tim pencari fakta PBB.
Meski sudah mulai membuka diri, otoritas Rakhine dilaporkan sangat membatasi kunjungan pihak asing. Mereka hanya mengizinkan kunjungan ke sejumlah penampungan di Mrauk U.
Ketika media ingin berkunjung ke tempat lain di Rakhine, seorang petugas hanya bisa melarang mereka karena dapat memicu amarah umat Buddha dan Hindu.
"Tidak aman," kata petugas anonim itu kepada
Channel NewsAsia.