Jakarta, CNN Indonesia -- Pengungsi Muslim Rohingya di Bangladesh ragu akan kesempatan mereka untuk pulang ke Myanmar, meski pemerintah negaranya sudah menjamin bakal menerima orang-orang yang terverifikasi.
"Semuanya sudah terbakar, bahkan orang-orang dibakar," kata seorang laki-laki yang mengaku bernama Abdullah, Selasa (3/10). Dia mengatakan para pengungsi kemungkinan kecil bisa mempunyai dokumen yang diperlukan untuk tinggal di Myanmar.
Surat-surat yang dimaksud adalah syarat penerimaan pengungsi yang dijanjikan pemerintah negara tersebut di bawah kesepakatan dengan Bangladesh pada 1993 silam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bangladesh dan Myanmar sepakat untuk membuat rencana repatriasi bagi para pengungsi, dan seorang juru bicara Myanmar menyatakan hal itu bisa diterima asalkan orang-orang yang hendak kembali ke Myanmar itu bisa menyediakan surat-surat tersebut.
Lebih dari setengah juta Rohingya melarikan diri dari persekusi militer Myanmar di Rakhine yang diluncurkan pada akhir Agustus lalu. Tindakan keras itu dikecam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai aksi pembersihan etnis.
Myanmar menampik telah melakukan pembersihan etnis, mengatakan pihaknya memerangi teroris Rohingya yang telah mengklaim bertanggung jawab atas serangan terhadap pasukan keamanan.
Akar permasalahan di sini adalah penolakan Myanmar yang berpenduduk mayoritas Buddha untuk memberikan status kewarganegaraan bagi etnis minoritas Muslim yang dipandang warga sebagai imigran ilegal asal Bangladesh dengan sifat tidak simpati atau kasar.
Namun, sehari setelah Bangladesh dan Myanmar mengumumkan kesepakatan yang tampak seperti sebuah kemajuan ini, seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Bangladesh menunjukkan keraguan atas proses yang kemungkinan bakal berjalan rumit ini.
"Ini prosedur yang masih membutuhkan banyak waktu," ujar pejabat yang enggan disebutkan namanya karena tidak berwenang berbicara ke media itu, dikutip
Reuters.
[Gambas:Video CNN]Sebelum gelombang eksodus terkini, sudah ada 400 ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh. Namun, Myanmar menyatakan hanya akan menerima "subjek verifikasi" dari mereka yang tiba setelah Oktober 2016, saat serangan balik militer terhadap angkatan bersenjata Rohingya memaksa 87 ribu orang menyeberang perbatasan, kata pejabat itu.
"Kami mengatakan banyak pengungsi Rohingya tidak mempunyai dokumen, jadi proses ini mestinya fleksibel. Myanmar menyatakan mereka akan menentukan siapa yang akan dilibatkan dalam proses verifikasi," ujarnya. Dia berharap badan-badan internasional bisa ikut terlibat dalam proses tersebut.
Di bawah pakta 1993 tersebut, kata pemerintah Myanmar, bahkan catatan rumah sakit saja sudah cukup untuk membuktikan domisili seseorang. Namun, hanya Myanmar, bukan Bangladesh, yang bisa memverifikasi.
"Kami mempunyai kebijakan proses repatriasi dan kami akan menjalankan itu," kata juru bicara, Zaw Htay, kepada
Reuters.