Papua Nugini Tutup Kamp Imigran Milik Australia

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Kamis, 23 Nov 2017 13:00 WIB
Kepolisian Papua Nugini menutup kamp pengungsi yang didirikan Australia di Pulau Manus, Kamis (23/11), memaksa ratusan imigran untuk pergi.
Sekitar 400 pengungsi di Kamp Manus, Papua Nugini, menolak pergi karena takut tak diterima oleh warga di sekitar pusat penampungan sementara lainnya. (Social Media/Handout via Reuters)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepolisian Papua Nugini menutup kamp pengungsi yang didirikan oleh Australia di Pulau Manus pada Kamis (23/11), memaksa ratusan imigran untuk pergi.

Menteri Imigrasi Australia, Peter Dutton, memastikan adanya operasi tersebut dan mengatakan bahwa Canberra "sangat berharap semua orang keluar dari pusat penampungan Manus."

"Saya pikir, sangat memalukan melihat orang-orang masih di sana. Saya ingin semua orang keluar," ujar Dutton, sebagaimana dikutip AFP.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Operasi ini menjadi sorotan setelah seorang jurnalis asal Iran, Behrouz Boochani, berkicau melalui akun Twitter pribadinya dari dalam kamp.

"Polisi, pasukan khusus, ratusan pasukan polisi, masuk ke kamp penjara dan sekitar penjara. Pasukan angkatan laut sudah bersiaga di luar kamp penjara. Kami dalam waspada tinggi sekarang. Kami diserang," tulis Boochani.



Boochani mengatakan, situasi semakin genting, sementara dua pengungsi terluka dan butuh perawatan medis secepatnya.

Sejumlah pengungsi lain merilis foto melalui jejaring sosial, memperlihatkan polisi masuk ke kamp tersebut.

Seorang aktivis hak asasi manusia dari GetUp, Shen Narayanasamy, mengatakan bahwa dia sudah mendengar laporan kekerasan di luar kamp, meski kepolisian belum mengusir paksa para pencari suaka.

Australia sudah menutup kamp itu sejak 30 Oktober lalu, setelah Mahkamah Agung Papua Nugini menyatakan pusat detensi itu tak sesuai konstitusi.
Tak lama setelah itu, Australia memutus aliran listrik dan menghentikan pasokan air ke kamp tersebut, kemudian meminta 600 pencari suaka yang ada di sana untuk pindah ke tiga pusat transisi terdekat.

Namun, sekitar 400 pengungsi menolak pergi. Mereka mengaku takut warga di sekitar pusat transisi itu menolak keberadaan para pengungsi tersebut.

Mereka juga mengatakan, ketiga pusat transisi itu tak sepenuhnya beroperasi karena tak ada aliran air mau pun listrik. Keamanan di kamp tersebut pun dianggap sangat longgar.
Nasib para pengungsi ini pun terkatung-katung, sementara Australia tetap berkeras tak mau menampung para pengungsi yang sebenarnya mencari suaka ke negara mereka itu.

Australia terus menegaskan bahwa mereka akan menempatkan para pengungsi itu di negara ketiga, termasuk Amerika Serikat.

Melalui kesepakatan pada masa pemerintahan Barack Obama, AS bersedia menampung 1.250 pengungsi dan pencari suaka Australia yang kini masih ditampung di kamp-kamp di Nauru dan Papua Nugini.

[Gambas:Video CNN]

Sebagai timbal balik, Australia akan menerima pengungsi dari El Salvador, Guatemala, dan Honduras.

Namun hingga kini, baru 54 pengungsi yang terbang ke Washington, sementara ratusan imigran lainnya terperangkap di kamp-kamp di mana banyak pelanggaran HAM terjadi.

Asosiasi Medis Australia pun mendesak Canberra untuk mengizinkan dokter masuk ke kamp-kamp tersebut untuk menolong para pengungsi, mengingatkan bahwa "situasi di Manus semakin buruk dan berbahaya." (has)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER