Jakarta, CNN Indonesia -- Tersangka serangan teror di salah satu terminal bus New York, Senin (11/12), dilaporkan mengaku berbaiat kepada ISIS dan melakukan aksinya karena tindakan Israel baru-baru ini di Jalur Gaza. Kejadian ini bergulir tak lama setelah Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Meski tidak bisa begitu saja dikaitkan, benang merah antara dua peristiwa ini terlihat ketika Akayed Ullah, lelaki berusia 27 tahun yang diduga menjadi pelaku serangan tersebut, mengungkapkan motifnya kepada penyidik. Hal itu disampaikan sumber di aparat keamanan dan belum dikonfirmasi secara resmi.
Ullah hanya dilaporkan mengaku beraksi karena tindakan Israel di Gaza belum lama ini, tanpa informasi yang spesifik. Walau demikian, diketahui belakangan Israel meluncurkan serangan udara ke Gaza dan melukai 25 orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gempuran Israel itu merupakan tanggapan atas serangan enam roket yang ditembakkan dari daerah pesisir menuju Israel selatan. Ketegangan memuncak di daerah tersebut setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Kebijakan kontroversial Trump memang dikhawatirkan memicu kekerasan dan tindakan terorisme.
Sejauh ini, sejumlah aksi protes yang berujung bentrokan sudah terjadi di wilayah Palestina dan Libanon. Jika serangan teror di New York terkonfirmasi berkaitan dengan ISIS dan dipicu permasalahan antara Israel dan Palestina, maka kekhawatiran itu boleh jadi terealisasi.
Di saat yang sama, ISIS sedang mengalami kekalahan di Irak dan Suriah. Pemerintah Irak sudah menyatakan bebas dari kelompok teror itu, dan Rusia baru saja menarik pasukannya dari Suriah karena merasa sudah berhasil menyelesaikan misinya.
Apakah serangan teror New York, pengakuan Yerusalem dan kekalahan ISIS berkaitan satu sama lain? Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, menjawab pada dasarnya pembebasan Palestina memang menjadi komitmen ISIS, meski bukan jadi prioritas
.
[Gambas:Video CNN]Harits menjelaskan kepada
CNNIndonesia.com, pada awalnya ISIS ingin menjadi kekuatan besar hingga layak disebut sebagai sebuah negara yang bisa mempertahankan diri. Setelah itu, baru mereka memikirkan caranya untuk melakukan ekspansi.
Walau demikian, kekalahan mereka belakangan ini membuat para anggota dan simpatisannya marah sehingga peluang terjadinya aksi teror pun meningkat.
"Di samping prinsip perlawanan, sebelumnya sudah diserukan oleh pihak ISIS kepada seluruh simpatisan agar membuka front perlawanan di manapun mereka berada dan dengan kemampuan apa saja yang bisa mereka siapkan," kata Harits.
"Saya rasa, isu Palestina hanya menjadi momentum saja untuk memberikan pesan bahwa ISIS masih eksis dengan kekuatan yang terdiaspora pascakekalahan mereka di Suriah dan Irak."
[Gambas:Video CNN]Sementara itu, sikap yang ditunjukan kelompok itu masih samar-samar. Pada Jumat lalu, artikel yang dipublikasikan ISIS dan dikutip kelompok pengamat SITE Intelligence Group justru mengkritik organisasi lain yang baru angkat bicara setelah Yerusalem diakui sebagai ibu kota Israel.
ISIS menyatakan bahwa fokus mereka lebih baik diarahkan pada bagaimana cara mengalahkan negara-negara Arab di sekitar Israel yang "mengelilingi negara itu seperti gelang mengelilingi pergelangan, melindungi para Yahudi dari serangan mujahidin."
Namun, di saat yang sama, para pengikutnya sibuk menyebarkan suara pembalasan dendam terhadap AS. Di salah satu forum pesan singkat Telegram, poster yang menggambarkan bendera Israel dan Amerika terbakar di hadapan kubah Masjid al-Aqsa disebarkan sebagai tanggapan atas kebijakan Trump.
"Tunggulah serangan keji terhadap kedutaan Amerika dan Yahudi dari para serigala ISIS," bunyi tulisan pada poster itu.
Hingga otoritas mengonfirmasi pengakuan Ullah, belum dapat disimpulkan secara pasti hubungan antara teror New York, Yerusalem dan ISIS. Namun, dengan keadaan saat ini, tampaknya kekhawatiran akan akibat buruk yang dibawa oleh kebijakan kontroversial Trump dapat dikatakan belum akan memudar dalam waktu dekat.
(aal)