Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Presiden
Donald Trump kembali memperlihatkan dukungan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Israel
Benjamin Netanyahu.Setelah Desember lalu mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, perintah eksekutif Trump memasukkan nama pemimpin Hamas,
Ismail Haniyeh dalam daftar teroris global.
Hamdan Basyar, peneliti politik Timur Tengah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan penetapan itu tidak mengherankan. "Ismail Haniyeh adalah musuh Israel, saya tidak heran, karena dianggap memusuhi Israel maka AS menetapkan Ismail Haniyeh sebagai teroris global," kata Hamdan kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (3/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Hamdan, penetapan itu juga tidak berpengaruh pada perjuangan Palestina. Apalagi situasi Palestina sekarang antara Hamas dan Fatah telah rekonsiliasi. Penetapan Ismail Haniyeh sebagai teroris global, menurut Hamdan, tampak seperti langkah antisipatif.
Israel mengkhawatirkan Hamas bakal menang jika pemilu parlemen kembali digelar. "Israel khawatir Hamas menang lagi jika pemilu parlemen digelar," kata Hamdan sambil menyebut bahwa Palestina telah lama tidak dilaksanakan sejak kemenangan Hamas di pemilu 2006.
 Foto: REUTERS/Mohammed Salem Para pendukung Hamas di perayaan 30 tahun organisasi itu di Gaza. |
Peneliti politik Timur Tengah di LIPI lainnya, Nostalgiawan Wahyudhi menilai penetapan Haniyeh sebagai teroris global tidak akan mengurangi perjuangan Hamas. Hal ini lantaran Hamas adalah sebuah gerakan melawan pendudukan.
"Hamas bukan masalah kepemimpinan. Dia adalah gerakan massa yang mendasar melawan masalah Palestina yakni pendudukan Israel," kata Nostagiawan kepada CNN Indonesia.
Karenanya, jika seandainya pun Haniyeh terbunuh, akan muncul pemimpin baru yang tidak kalah kuat dari Haniyeh.
Hal inilah yang mungkin bakal menjadi masalah baru. Sepak terjang Ismail Haniyeh, bukan tipikal pemimpin Hamas yang suka berperang. Haniyeh adalah pemimpin yang mengedepankan lobi dan diplomasi. "Kepemimpinan Haniyeh, mendukung Abbas (Presiden Palestina Mahmoud Abbas dari Faksi Fatah), lebih akomodatif. Berbeda dengan kepemimpinan Hamas sebelumnya," kata Nostalgiawan.
Hubungan antara Hamas dan Fatah sebelum kepemimpinan Haniyeh dalam Hamas sangat terbelah. "Hamas dan Fatah tidak se-erat sekarang. Masih ada perbedaan, tapi kedekatan tidak pernah ada titik ini," kata dia. Hal ini terjadi lantaran Haniyeh lebih kompromis dan bisa bernegosiasi dibandingkan tokoh Hamas yang lain.
Kedekatan Hamas dan Fatah tersebut tidak menguntungkan Israel. Di masa sebelumnya, Israel kerap bermain di dua kaki. Bekerja sama dengan Otoritas Pembebasan Palestina (PLO) dan memusuhi Hamas. Karena PLO juga tidak mempercayai Hamas kala itu, Israel dan PLO seolah memiliki musuh yang sama.
Suasana yang kondusif bagi perjuangan Palestina, menurut Nostalgiawan adalah jika kedua pihak, Israel dan Palestina sama-sama dipimpin oleh orang-orang yang mau bernegosiasi. Dalam hal ini di Israel, bukan partai atau kelompok Netanyahu.
Haniyeh, 55 tahun, menggantikan Khaled Mashal sebagai pemimpin biro politik Hamas sejak Mei 2017. Haniyeh telah menjadi pemimpin senior Hamas selama lebih dari 20 tahun.
Lahir di Kamp Pengungsi Shati, ia adalah sosok populer di Gaza, tanah kelahiran sekaligus tempat tinggalnya. Haniyeh dikenal sebagai pemimpin Hamas yang moderat dan dekat dengan pemimpin spiritual Hamas Sheikh Ahmad Yassin yang dibunuh Israel.
Pada pemilu 2006, Haniyeh secara mengejutkan berhasil membawa Hamas memenangkan pemilu melawan Fatah.
Haniyeh pernah menjadi perdana menteri Otoritas Nasional Palestina. Setelah dipecat Presiden Abbas, Haniyeh melanjutkan kewenangan perdana menteri di Jalur Gaza hingga 2014, saat tercapainya rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah.
(nat)