Cerita Pengungsi Terdampar 'Selamanya' di Indonesia

Riva Dessthania Suastha | CNN Indonesia
Senin, 07 Mei 2018 12:27 WIB
Kehidupan pengungsi yang tidak diperbolehkan bekerja oleh pemerintah membuat mereka bergantung pada belas kasihan orang-orang di sekitarnya.
Kehidupan pengungsi yang tidak diperbolehkan bekerja oleh pemerintah membuat mereka bergantung pada belas kasihan orang-orang di sekitarnya. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bising jalan raya nampak tak mengganggu Naser Ahmad Baqiri dan keluarganya. Pengungsi asal Afghanistan itu telah tinggal selama dua bulan beralaskan tenda seadanya di trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi DKI Jakarta, Kalideres, Jakarta Barat.

Bunyi klakson dan polusi kendaraan, menurut Naser, jauh lebih baik daripada mendengar ledakan bom yang setiap hari mengancam dia, istri, dan ketiga anaknya di Afghanistan, kampung halamannya.

Perang serta ancaman persekusi menjadi alasan pria 28 tahun itu dan keluarganya lari dari Afghanistan. Ia tak ingin melihat anak dan istrinya menjadi korban Taliban, seperti ayah dan saudaranya yang tewas dibunuh kelompok pemberontak itu beberapa waktu lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Taliban membenci etnis Hazara dan orang-orang yang bekerja di pemerintahan. Kami orang Hazara. Saudara laki-laki dan ayah saya tewas dibunuh Taliban. Karena itu saya harus pergi dari Afghanistan," kata Naser.

Naser datang ke Indonesia sejak 30 bulan lalu. Sebelum tinggal di trotoar, dia dan keluarganya masih bisa menyewa rumah kontrakan di Bogor, Jawa Barat, dengan uang tabungan yang dibawa. Karena tidak bisa bekerja, uang simpanannya terus menipis.


Naser akhirnya memutuskan pergi ke Jakarta dan tinggal di depan Rudenim Kalideres, berharap bisa segera ditampung ke dalam oleh petugas imigrasi. Naser merupakan satu dari sedikitnya 400 pengungsi yang menetap di pinggir jalan rudenim tersebut.

"Saya tidak punya lagi uang jadi saya harus tinggal disini agar bisa ditampung di imigrasi dan pada akhirnya mendapat bantuan dari Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM)," ujar Naser.

UNHCR dan IOM merupakan dua organisasi internasional utama yang memiliki tanggung jawab mengurus persoalan pengungsi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Indonesia bukan lah negara tujuan Naser. Ia lari ke Indonesia supaya dapat ditempatkan UNHCR di negara ketiga seperti Australia, Amerika Serikat, dan Kanada.

Tapi, kenyataan tidak seperti harapan Naser. Bukannya mendapat solusi dan bantuan, ia mengatakan UNHCR malah menyuruhnya kembali ke kampung halaman. Badan pengungsi mengatakan kepadanya bahwa peluang ia dan keluarga ditempatkan di negara ketiga sangat kecil, melihat sejumlah negara penerima yang berangsur mengurangi kuota penerimaan pengungsi.

"UNHCR hanya mengatakan kepada saya peluang untuk ditempatkan ke negara ketiga hanya satu persen dari total pengungsi yang ada. Mereka bilang tidak bisa menempatkan keluarga saya dalam waktu dekat sehingga mereka menyuruh kami pulang," keluh Naser.

"Mereka mengatakan pulang atau tinggal di sini [Indonesia] selama 15 atau 20 tahun tanpa kejelasan," kata dia.

Ada sekitar 24 juta pengungsi dan pencari suaka yang tersebar secara global, 13.840 orang di antaranya berada di Indonesia. Berdasarkan statistik, hanya 1 persen dari total pengungsi dunia yang bisa ditempatkan di negara ketiga.

Belum lagi tren sejumlah negara yang dahulu secara tradisional menerima penempatan pengungsi, kini menerapkan kebijakan yang lebih protektif.

Di tangan Presiden Donald Trump contohnya, Amerika Serikat hanya bersedia menerima penempatan pengungsi sebanyak 50.000 orang, turun drastis dari era Presiden Barack Obama yang bisa menerima hamper 110 ribu pengungsi setiap tahunnya.

Selain AS, Australia dan sejumlah negara di Eropa juga mulai membatasi diri dengan menutup sejumlah kamp pengungsi. Padahal AS dan Australia merupakan negara penandatangan Konvensi 1951 dan Protokol 1967.

Kebijakan protektif ini semakin mengecilkan peluang para pengungsi untuk ditempatkan di negara ketiga. Kepala Misi UNHCR untuk Indonesia, Thomas Vargas, mengatakan beberapa tahun lalu organisasinya mampu memproses sedikitnya 800 pengungsi untuk ditempatkan di negara ketiga.

Namun, saat ini, dia mengatakan angka itu terus turun. Pada 2017, UNHCR bahkan hanya mampu menempatkan sedikitnya 322 pengungsi.

Pengungsi di Rudenim KalideresFoto: CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama
Pengungsi di Rudenim Kalideres


Karena itu, UNHCR mulai meminta para pengungsi agar tak berharap banyak terkait penempatan di negara ketiga. Organisasi itu bahkan meminta para pengungsi untuk mulai mencari opsi lain seperti kembali ke negarannya secara sukarela atau bertahan hidup di Indonesia tanpa kejelasan dan hak untuk bekerja atau sekolah.

"Kami berupaya sejujur mungkin dalam menjelaskan keadaan yang tidak bisa diprediksi saat ini. Secara umum, negara penerima pengungsi lebih terbuka di masa lalu daripada beberapa tahun terakhir," kata Vargas kepada CNNIndonesia.com.

Serupa dengan Naser, Nur Ali, 23 tahun, juga berharap bisa segera ditempatkan di Australia atau Selandia Baru. Tapi sudah hampir lima tahun tinggal di Indonesia, pria asal Afghanistan itu tak kunjung mendapat kejelasan dari UNHCR soal penempatannya.

"UNHCR bahkan tidak pernah bantu kami. Mereka hanya kasih kartu registrasi pengungsi, tapi tak pernah berikan solusi. Jika kami minta bantuan untuk ditempatkan, mereka hanya memberi jawaban yang buat kami kecewa bahwa peluang ditempatkan itu hanya satu persen," kata Ali.


Ia bahkan sudah fasih berbahasa Indonesia. Jika tak ada peluang untuk ditempatkan, Ali lebih memilih untuk tinggal di Indonesia. Dia berharap kelak bisa diizinkan untuk meneruskan kuliahnya dan bekerja di sini.

"Inginnya cepat pergi dari Indonesia. Kalau boleh tinggal di sini, saya ingin diperbolehkan bekerja atau kuliah. Yang pasti saya tidak ingin kembali ke Afghanistan karena tidak aman untuk saya," papar Ali.

Selama bertahun-tahun, pengungsi dan pencari suaka menjadikan Indonesia sebagai titik transit mereka menuju negara tujuan seperti Australia dan Selandia Baru. Tapi sejak Australia menerapkan pengetatan, para pengungsi semakin tak memiliki kejelasan mengenai nasib penempatan mereka.

Karena Indonesia bukan negara penandatangan Konvensi Internasional Tentang Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, pemerintah tak memiliki kewajiban menerima apalagi menempatkan pengungsi. Namun, karena alasan kemanusiaan Indonesia mengizinkan para pengungsi untuk tinggal sementara sampai menemukan solusi jangka panjang seperti ditempatkan ke negara ketiga.

"Indonesia hanya negara transit bagi para pengungsi untuk mengakomodasi mereka sampai akhirnya bisa ditempatkan di negara tujuan atau negara ketiga," kata Kabag Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Agung Sampurno.

Agung mengatakan isu pengungsi bukan masalah baru bagi Indonesia. Di era 1970-an, Indonesia pernah dihadapkan oleh gelombang eksodus pengungsi dari Vietnam yang sedang dalam kondisi perang.

Saat itu, papar Agung, Indonesia belum memiliki landasan hukum apapun soal penanganan pengungsi. Tapi Indonesia sudah menunjukkan kontribusinya dengan menampung para pengungsi dari Vietnam di Pulau Galang, Riau.

[Gambas:Video CNN]

Indonesia akhirnya membentuk Peraturan Presiden No.125/Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, menyusul munculnya gelombang pengungsi Rohingya yang berdatangan ke perbatasan pada 2015 karena krisis kemanusiaan di Myanmar.

Agung mengatakan perpres tersebut hingga kini menjadi pedoman pemerintah dan lembaga terkait dalam menangani masalah pengungsi.

Meski begitu, dia menekankan perpres tersebut dibentuk untuk mengakomodasi sementara para pengungsi asing di Indonesia. Agung menegaskan, melalui peraturan itu Indonesia hanya menerima pengungsi sementara sampai mereka ditempatkan ke negara ketiga atau mendapat solusi jangka panjang lainnya.

Dia mengatakan menetap secara permanen bukan jadi pilihan bagi para pengungsi asing yang tinggal di sini.

(nat)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER