Jakarta, CNN Indonesia -- Matahari siang hari itu bersinar cukup terik seolah tidak peduli pada orang sedang menjalani ibadah puasa di Kalideres, Jakarta Barat, (14/6) Tepat di depan Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim), dapat dilihat tenda-tenda darurat para
pengungsi yang berasal dari negara-negara konflik seperti
Afghanistan, Sudan, Somalia, dan negara lainnya.
Hanya bermodalkan terpal sebagai atap dan kardus sebagai alas, para pencari suaka ini terpaksa harus tinggal di atas trotoar sambil menunggu dipindahkan ke tempat yang lebih manusiawi. Rudenim saat ini tidak dapat menampung jumlah pencari suaka lebih banyak lagi.
Masuk ke dalam tenda, tercium aroma yang kurang sedap, pengap, dan panas yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, ketidaknyamanan ini seolah tidak menggangu Farid Attie dan tujuh anggota keluarganya. Mereka tetap tersenyum dan ramah ketika bertemu dengan
CNNIndonesia.com.
Menjelang Hari Raya Idul Fitri ini, Farid mengakui merindukan masa-masa di mana ia bisa merayakan semangat Idul Fitri seperti biasa. Silahturahmi, makanan kering, dan baju baru menjadi hal yang rindukan. Ia menyebut perayaan Idul Fitri di Idul Fitri di Indonesia dan Afganistan.
Saat ini ia mengakui mengandalkan bantuan dari para donatur yang sesekali datang untuk memberikan bantuan berupa makanan, minuman, ataupun uang. Untuk berbuka saja, ia harus menunggu makanan dari para donatur.
"Ya untuk berbuka puasa kami mengandalkan bantuan dari para donatur. Saya rindu merayakan Idul Fitri selayaknya, kini saya merayakan Idul Fitri di atas trotoar," kata pria yang berusia 20 tahun ini.
Untuk urusan makanan dan minuman, Farid yang sudah berada di Indonesia hampir satu tahun ini mengakui terkadang ia tidak bisa makan dalam sehari. Untuk serapan gizi dan vitamin dirasa kurang bagi Farid. Wajah Farid dan keluarganya memang terkesan pucat.
"Kami makan kurang, bisa sekali sehari, bisa juga tidak makan sama sekali. Lihat muka kami pucat semua. Tidak ada serapan vitamin dan gizi," kata dengan lirih Farid.
Kepada
CNNIndonesia.com, ia menceritakan ia dan tujuh anggota keluarganya lari dari Afghanistan yang sedang terjadi konflik perang.
"Kami ini bukan pergi ke Indonesia, kami lari ke Indonesia. Di Afghanistan tidak aman bagi kami," kata Farid
CNNIndonesia.com juga bertemu dengan seorang pencari suaka asal Afganistan lainnya, ia bernama Zikria. Berbeda dengan Farid, Zikria yang datang ke Indonesia bersama istri dan anaknya yang masih berusia 18 bulan, tidur di emperan toko pada malam hari ketika toko itu tutup.
Anak perempuannya yang bernama Jasmine perlu tidur siang. Oleh karena itu ia tidur di masjid atau mushola terdekat. Pasalnya ia tidak bisa tidur di depan toko karena toko tersebut masih buka.
Senada dengan Farid, Zikria (32) juga merindukan perayaan Hari Raya Idul Fitri secara manusia seperti saat di kampung halamannya. Ia merindukan momen di mana ia bisa mengunjungi dan dikunjungi orang-orang terdekat.
Di siang hari ia dan keluarganya bersantai di pinggir jalan tempat berkumpulnya para pencari suaka. Zikria mengatakan ia dan istrinya biasa duduk di tempat itu sembari menunggu bantuan logistik dari donatur.
Ketika donatur datang dan membawa minuman saja, para pencari suaka berebut untuk mendapatkan minuman itu. Tarik-menarik tidak dapat dihindarkan, orang dewasa, anak kecil, pria dan wanita ikut dalam perebutan ini.
Kendati demikian, Zikria dan istrinya tidak bergerak dari tempatnya. Mereka sibuk bermain dengan anaknya.
"Saya tidak suka berebutan seperti itu. Itu menunjukkan kita seperti orang barbar saja. Nanti juga ada lagi, biar Tuhan yang menyediakan," kata Zikria.
Zikria mengakui sudah lima bulan berada di Indonesia. Zikria menyebut ia merindukan merayakan Hari Raya Idul Fitri di sebuah rumah. Sensasi dikunjungi, dan menawarkan berbagai makanan kepada tamu tidak bisa lagi ia rasakan.
 Foto: ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang |
"Kami bertemu teman dan keluarga, membuat baju baru, kami juga menyiapkan berbagai makanan di rumah untuk menyambut Lebaran. Saya rindu semua ini," kata Zikria.
Kendati demikian, Zikria masih bisa melihat hal positif di tengah kesulitan yang ia alami. Ia mengatakan yang terpenting adalah ia masih bersama keluarganya. Kemudian untuk semangat perayaan Idul Fitri, ia berpendapat masih bisa melakukannya. Yakni dengan saling mengunjungi dan mengucapkan Idul Fitri ke sesama pencari suaka.
"Yang terpenting saya masih bersama keluarga. Itu saja, keluarga saya cukup penting. Saya tidak punya pilihan lain, pilihannya antara mati atau mencari suaka" kata Zikria sambil meneteskan air mata.
Zikria mengatakan tahun lalu saat masih di Afghanistan, dirinya juga tidak bisa merayakan Idul Fitri karena ia diincar oleh pembunuh yang tidak sungkan akan membunuh anak kecil dan istrinya. Itu juga yang menjadi alasan Zikria untuk mencari suaka di Indonesia. Ia terakhir kali merayakan Idul Fitri dua tahun lalu.
Kendati demikian, ia tidak menceritakan dengan detail penyebab ia diincar oleh pembunuh tersebut. Konflik tidak berkesudahan di Afghanistan juga menjadi alasan dirinya memilih meninggalkan seluruh kehidupannya di Afghanistan daripada ledakan bom.
"Saya diincar karena pernikahan saya. Maaf saya tidak bisa lebih lanjut, ini mengenai etnis dan agama," ucap pria yang sebelumnya berprofesi sebagai akuntan di Afghanistan.
Oleh karena itu ia merasa masih belum aman di Indonesia. Pasalnya ia masih harus hidup luntang lantung di trotoar. Alasan itu juga yang membuat dirinya tidak mau difoto atau direkam.
"Saya minta jangan foto saya. Ini untuk alasan keamanan. Saya sedang diincar di Afghanistan. Saya meninggalkan seluruh kehidupan saya di sana untuk mengejar keamanan" kata Zikria.
Zikria berharap agar organisasi apapun seperti International Organization for Migratio (IOM) atau Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) untuk memindahkannya ke tempat yang lebih manusiawi. Ia pun tidak masalah apabila harus tinggal di Rudenim yang notabene sudah melebihi kapasitas.
"Saya tidak masalah ditempatkan di manapun selamat itu layak dan memiliki atap. Saya berharap akan ada organisasi yang akan menyelematkan kami dari trotoar," ujar Zikria.
Bantuan dari organisasi tersebut sangat dibutuhkan oleh para pengungsi. Menurut Zikria bantuan tersebut dibutuhkan karena para pencari suaka tidak berhak untuk mendapatkan pekerjaan atau pendidikan di Indonesia.
Pasalnya Indonesia bukan negara penerima pengungsi karena tidak Indonesia bukan negara penandatangan Konvensi Internasional Tentang Pengungsi 1951 dan Protokol 1967.
"Kami tidak bisa kerja, tidak bisa mencari uang. Uang kami juga sudah habis. Coba bayangkan bagaimana kami bisa bertahan hidup," kata Zikria.
Karena alasan kemanusiaan Indonesia mengizinkan para pengungsi untuk tinggal sementara sampai menemukan solusi seperti ditempatkan ke negara ketiga. Sudah bertahun-tahun Indonesia dijadikan transit oleh para pencari suaka.
Pencari suaka ini seharusnya ditampung oleh IOM di rumah-rumah penampungan yang disebut community house, sampai mereka diberangkatkan ke negara tujuan yang akan menerima mereka sebagai pengungsi. Saat ini
community house yang dikelola IOM pun sudah penuh dan tidak dapat menampung lebih banyak orang lagi.
Rudenim pun mau tak mau harus menampung pencari suaka, padahal fungsi sesungguhnya Rudenim adalah tempat penahanan sementara bagi orang asing pelaku pelanggaran keimigrasian, bukan untuk pengungsi, apalagi pencari suaka.
[Gambas:Video CNN]Oleh karena itu, mereka terpaksa hidup di trotoar sembari menunggu status pengungsi resmi dari Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) untuk diberangkatkan ke negara penerima pengungsi.
Artinya saat ini mereka hanya bisa disebut sebagai pencari suaka, bukan pengungsi. Setelah teregister, para pencari suaka ini resmi menjadi pengungsi dan dikirimkan negara penerima pengungsi.
(nat)