Jakarta, CNN Indonesia -- Menjadi bagian dari kaum
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di negara Muslim konservatif merupakan hal yang tak terbayangkan. Nadeem Kashish (35) merupakan salah satu yang merasakan sulitnya hidup sebagai
transgender di Pakistan, di mana kaum LGBT terpinggirkan bahkan tak jarang mengalami persekusi.
Pakistan menganut syariat atau hukum Islam, yang menganggap homoseksual sebagai sesuatu yang ilegal. Namun, sebuah terobosan diambil pada Mei lalu saat Pakistan mengadopsi undang-undang yang dinilai bisa menjadi awal pengakuan bagi kaum LGBT di negara itu.
Pakistan secara resmi mengaku jenis kelamin ketiga sejak 2009.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu kaum LBGT menginginkan pengakuan ini berlanjut di seluruh bidang dan lapisan masyarakat, termasuk dalam dunia politik.
Meski tahu tak akan menang, Kashish mencoba tetap mencalonkan diri sebagai kandidat parlemen dalam pemilihan umum yang akan digelar besok, Rabu (25/7). Kashish merupakan satu dari total 13 kandidat transgender yang ikut pemilu besok.
Dia menganggap kemenangan pencalonannya bukan persoalan besarnya suara yang ia peroleh, tapi soal perjuangannya agar komunitas LGBT bisa diakui dalam masyarakat, terutama dalam berpolitik.
"Saya telah memenangkan pemilu karena semakin banyak orang yang datang dan berbicara tentang kami," ucap penata rias itu seperti dikutip portal berita India,
Zee News, Selasa (24/7).
Salah satu visi misi Kashish demi menjadi anggota parlemen adalah memperjuangkan kaum LGBT dan menghapus sejumlah sistem yang dinilai diskriminatif serta eksploitatif bagi komunitasnya itu.
Salah satunya yakni sistem penampungan bagi kaum transgender muda yang difasilitasi oleh para transgender senior, sebagai gantinya para junior harus membayar biaya penampungan dari pemasukan yang mereka terima sebagai penari atau pekerja seks. Kashish mendesak sistem ini dihapuskan karena bersifat eksploitatif.
"Saat Anda melihat dan mengenal transgender, jangan memperhatikan atau mendiktenya, tapi beri lah suara baginya," kata Kashish kepada pendengar radio dalam acara mingguannya seperti dikutip The Guardian.
Kashish menggelar sejumlah kampanye di lingkungannya dengan menyebar pamflet di utara Ibu Kota Islamabad. Dia mendorong orang-orang mendukungnya.
Kashish bercerita dia memutuskan ikut pemilu setelah melihat beberapa politikus muncul di saluran televisi.
"Sejak itu saya memutuskan membentuk sebuah platform dan menggunakannya untuk generasi transgender berikutnya sehingga mereka tidak lagi menghadapi kesulitan seperti yang saya hadapi," tutur Kashish.
Berdasarkan data, ada sekitar 10 ribu transgender atau khwaja siras yang tercatat dalam sensus Pakistan. Angka itu jauh lebih kecil ketimbang perkiraan jumlah kaum transgender di negara itu yang mencapai 500 ribu orang.
Meski tak ada data resmi mengenai kekerasan terhadap transgender di Pakistan, organisasi non-profit Transaction Alliance memaparkan sedikitnya 54 transgender dibunuh di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa.
Sementara itu, lembaga tersebut mengatakan sedikitnya 400 transgender mengalami kekerasan sejak 2015 lalu.
Demi mengatasi diskriminasi ini, parlemen Pakistan menyetujui undang-undang pertama yang menjamin hak-hak transgender terlindungi. Undang-undang juga memberi kewenangan bagi komunitas tersebut agar dapat menerima warisan properti serta melarang diskriminasi di lingkungan pendidikan dan tempat kerja.
(nat)