Jakarta, CNN Indonesia -- Ko Shell kehilangan gigi ketika disiksa aparat dan dipindahkan ke enam penjara selama 14 tahun, namun menjelang perayaan 30 tahun aksi perlawanan pro-demokrasi
Myanmar yang membuatnya dipenjara, dia menyebut pengorbanannya telah dilupakan.
Sambil duduk di satu kedai teh di Yangon, Ko khawatir sejarah perjuangannya itu tidak diturunkan ke generasi muda. Satu perasaan yang sejalan dengan kekecewaan pegiat yang pernah dipenjara karena melawan junta militer pada umumnya kepada pemerintah Myanmar saat ini.
"Semua cerita yang benar tidak dikemukakan kepada masyarakat," kata pria berusia 49 tahun ini.
Rezim militer Myanmar memenjarakan hampir 10 ribu orang sejak pertama kali berkuasa pada 1962 yang membuat negara itu terisolasi selama beberapa dekade.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian besar dari mereka dipenjara setelah aksi mogok nasional pada 8 Agustus 1988, yang menjadi bagian dari demonstrasi anti-junta yang membuat pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menjadi terkenal. Pemimpin gerakan pro-demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi berpidato di hadapan pendukungnya menentang junta militer pada 8 Agustus 1988. (AFP/STR/FILES) |
Suu Kyi yang merupakan putra pahlawan Myanmar terlibat dalam revolusi ini sesaat setelah pulang dari Inggris untuk merawat ibunya.
Meski dia dikenai tahanan rumah selama 15 tahun oleh rezim militer yang paranoid, Suu Kyi menekankan rekonsiliasi dengan para jenderal militer ketika memenangkan pemilu 2015.
Meski sepertiga anggota parlemen dari partainya pernah dipenjara karena kegiatan melawan junta militer, para pelaku utama protes 1988 tidak terpilih menjadi caleg sebelum pemilu.
"Sebagian besar dari mereka kini hidup penuh susah," ujar Ko Shell yang berprofesi sebagai pengendara taksi.
Peninggalan Masa LaluSejarah merupakan isu berbahaya di negara berpenduduk mayoritas Buddha tempat militer mendorong keyakinan menyatukan negara dengan memanfaatkan isu agama dan etnis.
Isu nasionalisme ini digarisbawahi oleh krisis Rohingya, ketika minoritas Muslim disebut sebagai "Bengali" agar dianggap sebagai imigran dari Bangladesh.
Ketika sebagian besar bekas anggota junta militer hidup berkecukupan atau masih terlibat di pemerintah, mengungkap kenangan dari tahanan politik tidak biasa terjadi.
Tetapi Kyaw Soe Win dari Asosiasi Bantuan Tahanan Politik di Yangon berharap bisa mengubah itu. Museum yang didirikan merupakan satu-satunya tempat untuk mengetahui pengalaman para bekas tahanan itu.  Pegiat pro-demokrasi 1988 Myanmar terdiri dari berbagai kalangan termasuk mahasiswa, sebagian besar menjadi tahanan politik dan kini merasa kecewa dengan Aung San Suu Kyi. (AFP PHOTO / STR) |
"Buku pelajaran sekolah tidak pernah menjelaskan sejarah yang sebenarnya terjadi," ujar Soe Win.
Di museum itu dipajang foto-foto mahasiswa yang berparade, pembubaran oleh tentara dan pembangunan Insein, penjara paling buruk di Myanmar.
Ada juga tandu, kerajinan tangan dan alat musik yang dibuat para tahanan politik di penjara.
Pengetahuan tentang insiden 1988 yang terbatas, ini hanya satu dari jurang yang lebih besar yang membuat banyak orang lebih mengetahui sejarah dalam versi yang lebih sederhana.
"Masalah besar di Myanmar sekarang adalah tidak ada diskusi kritis terkait masa lalu negara ini," ujar penulis Thant Myint-U.
Tahanan, PolitisiRasa tidak puas terhadap pemerintah Myanmar pimpinan Aung San Suu Kyi sejak dua tahun lalu semakin meluas.
Negara ini dikecam dunia karena penanganan kejam dalam krisis Rohingya, yang disebut PBB dan Washington sebagai aksi pembersihan etnis. Militer masih memiliki kursi 25 persen di parlemen.
Suu Kyi juga dianggap bertanggung jawab atas reformasi ekonomi yang lambat dan sistem manajemen dari atas ke bawah.
Myanmar akan mengadakan pemilu pada 2020 dan satu kelompok veteran aksi 1988 mengumumkan pembentukan partai alternatif dari Liga Nasional bagi Demokrasi, NLD, pimpinan Suu Kyi.
 Aung San Suu Kyi yang dikenakan tahanan rumah selama 15 tahun kini menjadi ketua partai NLD yang berkuasa, namun dipandang tidak berbuat cukup untuk menerapkan demokrasi di Myanmar. (REUTERS/Soe Zeya Tun) |
Ko Ko Gyi, satu dari 88 pengunjuk rasa yang ikut dalam partai baru yang belum bernama ini, mengatakan tujuan utama revolusi "empat 8" adalah demokrasi berasaskan pluralisme.
"Kami mencoba mendirikan partai alternatif yang lebih baik untuk para pemilih," katanya.
Min Thu, anggota parlemen dari NLD yang sempat dipenjara 10 tahun, mengakui kelambatan reformasi tetapi menegaskan situasi sekarang jauh lebih baik dari pada masa lalu.
"Mereka (rakyat) bisa mengemukakan pendapat dengan bebas dan mereka bisa melempar kritik," katanya kepada
AFP.Dia mengatakan partainya memberi sedikit bantuan bagi para mantan tahanan politik.
Tanpa menyebut militer, Min Thu mengatakan kemajuan yang belum sempurna disebabkan negara selama beberapa dekade tidak diurus dengan benar. Dia menegaskan pemilih bisa menentukan pemerintah baru dalam pemilu jika tidak puas.
Tetapi sebagian bekas tahanan politik prihatin dengan situasi di Myanmar saat ini, bukan dalam pemilu mendatang.
Ko Shell mengatakan memiliki masalah keluarga karena pengalaman dalam penjara selama junta militer Myanmar dalam jangka waktu panjang membuat kehidupan berumah tangga menjadi sulit. "Saya selalu ingin bebas setiap saat," ujarnya.
(yns)