Jakarta, CNN Indonesia --
Myanmar menolak hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyimpulkan bahwa militer terbukti berniat melakukan genosida terhadap
Rohingya."Kami tidak pernah mengizinkan Tim Pencari Fakta PBB (FFM) masuk ke Myanmar, maka dari itu kami tidak setuju pada resolusi apa pun yang dibuat Dewan Hak Asasi Manusia PBB," ucap juru bicara pemerintah Myanmar, Zaw Htay, seperti dikutip surat kabar
Global New Light of Myanmar seperti dilansir
AFP, Rabu (29/8).
Pernyataan itu dikeluarkan pemerintahan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi menanggapi hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta PBB mengenai krisis kemanusiaan yang menargetkan Rohingya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain menyimpulkan Myanmar membiarkan upaya genosida terhadap Rohingya terjadi, laporan yang dirilis awal pekan ini itu juga mendesak panglima militer
Myanmar dan lima jenderalnya untuk mundur dan segera diadili.
"Ada informasi cukup untuk membenarkan/menjamin dibukanya penyelidikan dan penuntutan terhadap para pejabat senior dalam rantai komando Tatmadaw (tentara)
Myanmar, sehingga pengadilan kompeten dapat menentukan tanggung jawab mereka terkait genosida dengan situasi yang terjadi di Rakhine," demikian kutipan laporan tim tersebut.
Panel yang berada di bawah naungan Dewan HAM PBB itu turut menyimpulkan pemerintahan di bawah Aung San Suu Kyi membiarkan ujaran kebencian berkembang dan gagal melindungi etnis minoritas dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer negara bagian Rakhine, Kachin, dan Shan.
"Kejahatan di negara bagian Rakhine dan cara mereka melakukan kejahatan itu memiliki sifat, gravitasi, dan ruang lingkup serupa dengan pihak-pihak yang mengizinkan genosida berlangsung," bunyi laporan 20 halaman tersebut seperti dikutip
Reuters, Senin (27/8).
Selain itu, tim pecari fakta turut menyarankan agar Myanmar segera diselidiki oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atau melalui pengadilan ad hoc.
Laporan tersebut dirilis menyusul krisis kemanusiaan yang kembali memburuk di Rakhine pada Agustus 2017 lalu. Saat itu, militer melancarkan operasi pembersihan dengan dalih memberangus "teroris Rohingya" yang sebelumnya sempat menyerang belasan pos keamanan di Rakhine.
Alih-alih menangkap pelaku penyerangan, militer diduga mengusir, menyiksa, hingga membunuh etnis minoritas
Rohingya yang tinggal di Rakhine. Dengan bantuan warga lokal, militer bahkan disebut membakar desa-desa Rohingya di wilayah itu.
Kekerasan itu pun memicu sedikitnya 700 ribu Rohingya untuk melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.
Tim pencari fakta telah membuka penyelidikan sejak akhir tahun lalu dan berhasil mewawancarai sedikitnya 875 korban dan saksi mata di perbatasan Bangladesh dan beberapa negara lain.
Tak hanya itu, tim yang terdiri atas lima panelis independen itu juga ikut menganalisis dokumen, foto satelit, gambar, hingga rekaman video terkait krisis kemanusiaan yang menimpa etnis
Rohingya di
Myanmar.
(nat)