Jakarta, CNN Indonesia -- Sepekan menjelang pertemuan tingkat tinggi
Kim Jong-un dan Presiden Amerika Serikat,
Donald Trump,
Korea Utara melaporkan bahwa mereka mengalami krisis pangan.
Dalam memo yang dilihat
Reuters, Korut menyatakan mereka menghadapi kekurangan pangan sekitar 1,4 juta ton pada tahun 2019 akibat cuaca buruk, kekeringan, banjir, dan sanksi PBB sehingga terpaksa mengurangi separuh ransum.
Memo dua halaman tak bertanggal yang dikeluarkan oleh perwakilan Korea Utara untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa itu juga memaparkan bahwa produksi pangan mereka pada 2018 turun 503 ribu ton dari tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PBB mengonfirmasi angka-angka ini sebagai data resmi pemerintah yang diberikan pada akhir Januari lalu.
"Pemerintah Korut menyerukan kepada organisasi internasional untuk segera menanggapi penanganan situasi pangan ini," demikian bunyi memo tersebut.
Korut menyatakan bakal mengimpor 200 ribu ton makanan dan memproduksi sekitar 400 ribu ton pada masa panen awal. Namun, masih ada kekurangan sehingga mereka harus memotong jatah harian dari 550 gram per orang menjadi 300 gram.
Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, mengatakan bahwa pejabat AS dan kelompok-kelompok bantuan di Korut sedang berkonsultasi untuk "lebih memahami dampak situasi keamanan pangan pada orang-orang yang paling rentan untuk mengambil tindakan dini demi memenuhi kebutuhan kemanusiaan mereka."
Dia mengatakan PBB dan kelompok-kelompok bantuan hanya mampu membantu sepertiga dari enam juta orang berdasarkan perkiraan jumlah di tahun lalu karena kekurangan dana.
PBB memperkirakan total 10,3 juta orang atau hampir setengah dari populasi membutuhkan bantuan dan sekitar 41 persen warga Korea Utara kekurangan gizi, kata Dujarric.
Memo ini terungkap sepekan menjelang KTT kedua antara Trump dan pemimpin Kim Jong Un yang salah satu agenda utamanya adalah denuklirisasi di Semenanjung Korea.
Akibat ambisi senjata nuklir, Korut diganjar serangkaian sanksi internasional, termasuk dari AS secara unilateral dan melalui PBB.
[Gambas:Video CNN]Benjamin Silberstein, editor North Korea Economy Watch dan seorang sarjana di Institut Kebijakan Luar Negeri, mengatakan bahwa Korut sengaja merilis memo ini untuk menekan AS dalam pertemuan Trump-Kim nanti. Menurut Silberstein, panen di Korut memang buruk, tidak ada tanda-tanda darurat.
"Lihat saja bagaimana surat itu ditulis. Mereka ingin membuatnya terdengar seperti sanksi sama dengan kelaparan sehingga AS harus benar-benar berbaik hati dan melepaskan mereka (dari sanksi)," katanya.
Kim Young-hee, seorang pembelot Korea Utara dan ahli ekonomi Korea Utara di Korea Development Bank di Seoul, juga menyampaikan opini serupa.
"Memo itu sepertinya pesan yang mengatakan 'Meskipun sanksi tidak mempengaruhi kehidupan orang secara langsung, mereka memengaruhi seluruh ekonomi dan kehidupan masyarakat semakin buruk. Jadi bukankah lebih baik jika sanksi diringankan?'" tuturnya.
(syf/has)