Jakarta, CNN Indonesia -- Terlepas dari progres denuklirisasi yang tidak jelas, keberhasilan mengajak Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un bertemu untuk kedua kalinya di Hanoi, Vietnam, hari ini dianggap sebagai kemenangan bagi Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Di luar seluruh ucapan dan kebijakannya yang tak luput dari kontroversi, Trump dinilai mampu membuat prestasi yang tak pernah dibuat para pendahulunya.
Menurut dosen jurusan hubungan internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, Trump mampu membuat terobosan yang tak pernah terjadi dalam sejarah AS, di mana seorang presiden mampu bernegosiasi empat mata dengan musuh untuk kedua kalinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum Trump, tak ada satu pun presiden AS yang pernah bertatap muka dengan Pemimpin Korut, begitu juga sebaliknya.
"Walaupun KTT AS-Korut di Singapura banyak dikritik, namun sebenarnya merupakan keberhasilan psikologis. Bagi Trump, pertemuannya dengan Kim Jong-un selalu menjadi kemenangan pribadi atas presiden Amerika Serikat sebelumnya, yang tidak terbiasa berpikir di luar kotak diplomasi," kata Teuku kepada
CNNIndonesia.com pada Rabu (27/2) kemarin.
Selain itu Teuku mengatakan pertemuan perdana Trump dan Kim Jong-un di Singapura tahun lalu bukan dengan tanpa hasil. Sejak Trump dan Kim Jong-un sepakat memulai proses denuklirisasi pada 12 Juni lalu, Korut tak pernah lagi menguji coba rudal maupun nuklirnya.
Korut juga sudah menutup sejumlah situs uji coba rudalnya, meski beberapa penelitian mengungkapkan bahwa Pyongyang memiliki 13 pangkalan rudal yang masih disembunyikan.
Dalam KTT kedua ini, Teuku menuturkan Trump akan berusaha keras membujuk Kim Jong-un untuk menjalankan denuklirisasi lebih signifikan lagi menyusul jabatannya yang akan segera berakhir pada 2020 mendatang.
[Gambas:Video CNN]Pengamat politik internasional itu menilai Trump akan "lebih melunak" dalam tatap mukanya bersama Kim Jong-un hari ini.
Teuku memprediksi ada beberapa janji yang akan Trump tawarkan untuk membujuk Kim Jong-un mau melanjutkan proses denuklirisasi lebih cepat lagi, salah satunya adalah mengakhiri sanksi yang selama ini menjerat Korut.
Sanksi memang menjadi salah satu ganjalan mengapa proses denuklirisasi mandek. AS dan Korut masih memiliki pandangan berbeda terkait proses denuklirisasi.
Di mata AS, sanksi harus terus diterapkan kepada Korut sampai negara tersebut benar-benar melucuti seluruh senjata nuklir. Sementara itu, Korut menginginkan AS mencabut sanksi-sanksi seraya proses denuklirisasi berjalan.
Selain itu, Trump disebut mungkin saja memperbolehkan Korut menjalankan kembali proyek industri dan pariwisatanya yang selama ini terjegal sanksi.
Menurut Teuku, AS tak dapat menerapkan pendekatan yang sama dengan Iran kepada Korut melalui perjanjian nuklir.
"Sebab, AS sekarang ini (di masa Trump) cenderung kerap mengingkari kesepakatan yang telah dibuat, seperti kesepakatan Trans Pacific Partnership (TPP) dan perjanjian iklim. Korut menyadari hal itu," ujar Reza.
Teuku menilai Trump dan Kim Jong-un juga tak mungkin meneken kesepakatan perdamaian Perang Korea 1950-1953 dalam pertemuan kali ini, padahal isu tersebut menjadi salah satu hal yang dinantikan.
"Perjanjian damai sulit dilakukan dalam waktu singkat, karena pengertian denuklirisasi itu sendiri belum mereka sepakati," kata Teuku.
Di saat Korut belum sepenuhnya menyerahkan senjata nuklirnya, ajang ini dinilai menjadi momen bagi Kim Jong-un untuk membuktikan kepada dunia jika mereka negara kecil yang cinta damai.
Menurut Teuku, hal ini mampu memperbaiki citra Korut selama ini yang dianggap sebagai "pemberontak" bersenjata nuklir.
Dengan membaiknya citra Korut, menurutnya, sejumlah negara dan pebisnis mungkin akan mulai melirik untuk berinvestasi di negara tertutup itu.
Sebagai contoh, sejumlah negara Afrika yang selama ini menjalin hubungan bisnis dengan Korut terpaksa berhenti lantaran khawatir terkena sanksi AS. Namun, berkat "keterbukaan" Korut saat ini dan pujian dari Trump kepada Kim Jong-un sejak pertemuan perdana mereka, mereka tidak perlu lagi khawatir untuk melanjutkan bisnisnya dengan Korut.
Bagi negara Afrika, Korut tak menimbulkan ancaman keamanan langsung, tapi justru menawarkan persahabatan, senjata murah, dan investasi dalam bidang infrastruktur.
Pasukan Komando Korut bahkan disebut masih melatih tentara-tentara Uganda. Perusahaan Korut seperti Malaysia Korea Partners dan Mansudae juga hingga kini terus beroperasi di Afrika.
"Bagi Korut, diakhirinya provokasi di Semenanjung Korea dan sanksi ekonomi yang sangat memberatkan dan menyengsarakan mampu menggenjot pembangunan nasionalnya yang selama ini terpuruk," kata Teuku.