Halau Iran, Trump Loloskan Penjualan Senjata Rp116 T ke Saudi

CNN Indonesia
Sabtu, 25 Mei 2019 10:11 WIB
Presiden Donald Trump mendeklarasikan situasi darurat di tengah ketegangan AS dengan Iran, memuluskan penjualan senjata Rp116 triliun ke Arab Saudi.
Presiden Donald Trump mendeklarasikan situasi darurat di tengah ketegangan AS dengan Iran, memuluskan penjualan senjata Rp116 triliun ke Arab Saudi. (Reuters/Joshua Roberts)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Donald Trump mendeklarasikan situasi darurat di tengah peningkatan ketegangan Amerika Serikat dengan Iran, memuluskan jalannya untuk meloloskan penjualan senjata senilai US$8 triliun atau setara Rp116 triliun ke Arab Saudi.

Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, mengatakan bahwa dengan deklarasi darurat ini, pemerintah tak harus meminta persetujuan Kongres untuk melakukan 22 transfer senjata ke Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yordania.

"[Senjata ini] penting untuk menghalau agresi Iran dan membangun kapasitas pertahanan rekan kita," ujar Pompeo sebagaimana dikutip AFP.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Langkah ini menuai kecaman keras dari berbagai pihak di Kongres, termasuk seorang anggota Komite Hubungan Luar Negeri Senat, Robert Menendez.
Menendez khawatir senjata yang dijual itu dapat digunakan Saudi untuk perang di Yaman dan pada akhirnya menewaskan warga sipil di sana.

"Saya sangat kecewa, tapi tidak terkejut melihat pemerintahan Trump sekali lagi gagal memprioritaskan kepentingan keamanan nasional jangka panjang atau membela hak asasi manusia, dan malahan membantu negara otoriter seperti Arab Saudi," katanya.

Menurut Menendez, pemerintahan Trump gagal memahami definisi resmi "situasi darurat" yang sesungguhnya. Ia menganggap Trump hanya menghalalkan segala cara untuk tetap menjual senjata.

"Nyawa jutaan orang tergantung pada keputusan itu," ujar Mendendez.
Senada dengan Menendez, seorang politikus senior Partai Demokrat, Dianne Feinstein, berkata, "Perang pimpinan Saudi di Yaman bukan keadaan darurat, itu adalah kejahatan kemanusiaan."

Saudi mulai mengintervensi perang di Yaman pada 2015 lalu, ketika kelompok pemberontak Houthi mengambil alih Istana Kepresidenan di negara tersebut.

Atas permintaan Presiden Yaman, Abd-Rabbu Mansour Hadi, Saudi memimpin koalisi untuk menggempur Houthi. Namun, gempuran tersebut tak hanya menghabisi Houthi, tapi juga menewaskan sekitar 17 ribu warga sipil.
Houthi sendiri disebut-sebut disokong oleh Iran, negara musuh Saudi dan AS di kawasan. Kini, ketegangan antara Iran dan AS sedang meningkat.

Ketegangan meningkat setelah Presiden Hassan Rouhani mengancam akan melanjutkan pengayaan uranium negaranya, langkah yang dianggap sebagai simbol pengembangan senjata nuklir.

Rouhani mengancam akan melanjutkan pengayaan uranium jika negara Eropa yang tergabung dalam perjanjian nuklir 2015 atau JCPOA tidak membela Teheran dari sanksi Washington.

[Gambas:Video CNN]

Perjanjian yang digagas di era Barack Obama itu menyepakati bahwa negara Barat akan mencabut serangkaian sanksi terhadap Teheran.

Sebagai balasan, Iran harus menyetop segala bentuk pengembangan senjata rudal dan nuklirnya, termasuk pengayaan uranium.

Namun, di bawah komando Presiden Donald Trump, AS menarik diri secara sepihak dari perjanjian nuklir itu pada Mei 2018 lalu dan kembali menerapkan sanksi atas Iran.

Sejak ultimatum Rouhani tersebut, AS dan Iran terus saling melontarkan ancaman. Trump bahkan mengerahkan kapal induk dan sejumlah pesawat pengebom ke Timur Tengah. (has)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER