Jakarta, CNN Indonesia -- Pertemuan dadakan antara Presiden Amerika Serikat,
Donald Trump, dan Pemimpin Tertinggi Korea Utara,
Kim Jong-un, di zona demiliterisasi (DMZ) kemarin boleh jadi menarik perhatian dunia.
Berita utama sebagian besar media internasional pada Senin (1/7) serentak diramaikan oleh foto kedua pemimpin berjabat tangan di desa gencatan senjata Panmunjom, DMZ.
Sebagian pihak menganggap pertemuan dadakan itu menghasilkan terobosan baru dalam relasi Korut-AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertemuan Trump dan Kim Jong-un kemarin juga berlangsung setelah perkembangan perundingan denuklirisasi AS-Korut mandek. KTT kedua Trump dan Kim Jong-un di Hanoi, Vietnam, pada Februari lalu gagal menghasilkan kesepakatan bersama.
Kedua negara juga sempat kembali tegang, menyusul uji coba rudal yang kembali dilakukan Korut sebulan lalu.
Setelah satu jam berbincang-bincang di DMZ kemarin, Trump mengatakan dia dan Kim Jong-un sepakat melanjutkan pembicaraan denuklirisasi. Ia menuturkan pembicaraan antara pejabat tinggi kedua negara akan dimulai dalam beberapa pekan ke depan.
Trump bahkan secara terbuka mengundang Kim Jong-un untuk menyambangi Washington "pada waktu yang tepat."
Tak heran jika banyak pihak menganggap hasil pertemuan singkat kedua pemimpin kemarin lebih substantif dan di luar perkiraan banyak orang. Namun, pertemuan Trump dan Kim Jong-un kemarin menyisakan pertanyaan dari sejumlah analis yang menganggap apakah momen "bersejarah" kemarin itu hanya pencitraan belaka atau benar-benar progres menuju perdamaian kedua negara.
Seorang profesor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Vipin Narang, menganggap pertemuan "teater
reality show" antara Trump dan Kim Jong-un kemarin tidak akan sia-sia jika perbincangan keduanya bisa mengarah pada kerangka kerja yang efektif.
"Jika tidak, maka kami akan terus mengikuti pertunjukan yang sama selama 15 bulan ke depan," kata Narang seperti dikutip
AFP.
Senada dengan Narang, mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS era Presiden Barack Obama, Mintaro Oba, menganggap pertemuan Trump dan Kim Jong-un kemarin sebagai "momentum terobosan sementara."
Oba menyebut peristiwa seperti itu tidak aneh dan kerap dilakukan AS untuk memberi kesan bahwa proses perdamaian itu tetap hidup.
"Kami terlibat dalam semacam '
defibrillator diplomacy' dengan Korea Utara yakni untuk menjaga proses itu tetap hidup melalui suntikan energi sesekali, tetapi tidak pernah benar-benar mengobati sumber penyakit," kicau Oba melalui Twitternya.
Narang dan Oba menganggap kemajuan proses denuklirisasi dan perdamaian baru bisa terukur dari seberapa besar kemajuan pembicaraan di antara kedua pemimpin.
Modal Politik TrumpTerlepas dari pengaruhnya terhadap perkembangan perdamaian AS-Korut, pertemuan di DMZ kemarin disebut lebih banyak menguntungkan Trump secara politik.
Profesor University of North Korean Studies di Seoul, Koo Kab-woo, menganggap langkah dramatis Trump ke DMZ bisa menjadi "alat kampanye yang berguna" bagi politikus Partai Republik yang tengah membidik periode kedua itu dalam pemilihan presiden 2020 mendatang.
[Gambas:Video CNN]Sebab, dari pertemuan singkatnya kemarin dengan Kim Jong-un, Trump berhasil mencetak sejarah lagi yakni sebagai presiden AS pertama yang menginjakkan kaki di tanah Korut-musuh bebuyutan Negeri Paman Sam selama ini.
Sebelumnya, Trump juga berhasil membuat terobosan sebagai pemimpin pertama AS yang berhasil bertatap muka dengan pemimpin Korut dalam pertemuan perdananya dengan Kim Jong-un di Singapura pada Juni 2018 lalu.
Senada dengan Koo, mantan analis Badan Pusat Intelijen AS (CIA), Soo Kim, menganggap tidak begitu sulit bagi Trump untuk mengajak Kim Jong-un bertemu lantaran Korut telah lama ingin diperlakukan sama oleh AS.
 Pertemuan Presiden AS, Donald Trump, dan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un. (REUTERS/Kevin Lamarque) |
So menganggap pertemuan singkat kedua pemimpin kemarin sesuai dengan peta permainan Korut. Pertemuan itu, paparnya, mengirim sinyal kepada Korut bahwa kebijakan AS "cukup luwes".
Menurut dia, dengan beberapa dorongan dan tekanan "Kim Jong-un bisa mendapatkan jalannya sendiri."
"Kim tidak perlu mengangkat jari untuk membuat Trump menyeberangi DMZ meskipun belum ada kemajuan denuklirisasi dan Korut terus melakukan uji coba nuklir dan rudalnya serta menghindari sanksi," kata Soo.
(rds/ayp)