Amnesty Internasional tak memungkiri krisis pengungsi menyulitkan posisi negara transit seperti Indonesia. Untuk itu, lembaga pemantau hak asasi manusia tersebut mendesak Indonesia bisa membentuk peraturan terkait pengungsi yang lebih longgar, salah satunya kebijakan mempermudah para pengungsi mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, memaparkan Indonesia tidak bisa mengandalkan bantuan organisasi dan PBB untuk mengurusi para pengungsi yang datang.
Sebab, berkaca dari situasi global saat ini negara-negara besar yang semula menjadi 'pendonor terbesar' semakin menutup diri terhadap komitmen kemanusiaannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dampaknya jadi menempatkan Indonesia sebagai destinasi kedua atau transit para pengungsi. Sementara itu, penempatan mereka tidak bisa ditentukan kapan," kata Usman.
![]() |
Karena itu, Usman mendorong Indonesia bisa segera meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokolnya 1967. Dengan begitu, Indonesia bisa berbuat lebih mendorong negara-negara maju untuk melaksanakan komitmennya.
"Indonesia harus menjadi contoh terlebih dahulu bagi negara-negara lain dalam hal ini. Bangladesh saja bisa menampung ratusan pengungsi Rohingya, kenapa Indonesia tidak bisa padahal situasi ekonomi dan wilayah yang lebih baik lagi?"
Terlepas dari kondisi sosial dan perekonomian domestik, Usman menuturkan Indonesia berkewajiban membantu para pengungsi berdasarkan hukum internasional terkait hak asasi manusia.
Dia menyatakan Indonesia telah menandatangani serangkaian perjanjian dan konvensi internasional terkait HAM yang artinya "negara berkewajiban menyediakan tempat aman dan penghidupan yang layak bagi semua orang yang ada di wilayah tertorialnya terlepas dari status warga negara dan sukunya."
(rds/dea)