Senada dengan Teuku, pengamat militer dan pertahanan negara, Connie Rahakundini Bakrie, menilai pemindahan ibu kota harus turut diiringi dengan perubahan doktrin sistem pertahanan negara yang lebih visioner dan mapan lagi.
Sebab, paparnya, ancaman hankam bagi Indonesia akan terus berkembang di masa depan dengan atau tanpa pemindahan ibu kota.
Connie menuturkan Indonesia sudah tidak bisa lagi mengandalkan doktrin strategi pertahanan yang pasif atau
inward looking, apalagi Jokowi telah mendeklarasikan bahwa Indonesia merupakan poros maritim dunia pada 2014 lalu. Sebagai negara poros maritim dunia, Connie menuturkan pertahanan Indonesia sudah seharusnya bermain di level kawasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"ini momentum penting untuk mengubah doktrin hankam Indonesia menjadi
outward looking strategy," kata Connie.
"Jadi ancaman hankam sudah tidak boleh kita tunggu di rumah. Misalkan kita tahu ada ancaman terorisme dari selatan Filipina, kita sudah tidak bisa nunggu itu masuk ke wilayah kita dulu, tapi begitu tau (ada ancaman tersebut) ya kita harus langsung kerahkan pasukan ke wilayah itu. Kalau sekarang hankam Indonesia masih sifatnya
defensive," ucap dia menambahkan.
Pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur memang dinilai mempengaruhi lanskap serta perhitungan ancaman terhadap hankam negara. Secara geografis, letak Kutai dan Penajam lebih dekat ke perbatasan bagian utara Indonesia yang berbatasan langsung (darat) dengan Malaysia dan Brunei.
Tak hanya itu, Pulau Kalimantan juga tak begitu jauh letaknya dari wilayah selatan Filipina dan Laut China Selatan yang rawan konflik.
Perairan dan wilayah selatan Filipina sarat akan aktivitas kelompok militan. Wilayah itu bahkan dinilai sebagai "sarang" kelompok teroris seperti ISIS di Asia Tenggara.
Sementara itu, Laut China Selatan menjadi rawan konflik setelah Pemerintahan Presiden Xi Jinping mengklaim 90 persen wilayah di perairan itu sebagai kedaulatannya. Beijing juga terus menegaskan pengaruhnya di perairan itu dengan membangun pulau buatan dan menempatkan instalasi militer di sana.
Connie mengatakan doktrin hankam Indonesia harus bisa beradaptasi dengan situasi dan potensi ancaman yang semakin dinamis ini. Dia menganggap ancaman terbesar yang harus diantisipasi Indonesia bukan lagi sebatas potensi perang antar-negara, tetapi lebih kepada risiko serangan siber dan serangan udara pihak asing.
Demi menghadapi ancaman-ancaman tersebut, Connie menganggap Indonesia harus benar-benar membangun jaringan komando terpusat militer yang lebih terintegrasi lagi. Angkatan darat, laut, dan udara TNI menurutnya sudah tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Selain itu, pemerintah juga harus menjalankan pembaruan alat utama pertahanan dan persenjataan secara konsisten dan terukur sesuai kebutuhan, bukan kemampuan daya beli. Kapasitas kekuatan personel dan persenjataan, papar Connie, harus sudah ditetapkan berdasarkan perhitungan ancaman yang ada dan kebutuhan negara.
"Jadi penetapan anggaran pertahanan sudah seharusnya ditetapkan berdasarkan perhitungan ancaman dan kebutuhan, berdasarkan idealnya itu berapa. Saat ini kan anggaran hankam masih bertumpu pada minimum
essential forces," kata Connie.
Selain itu, ia juga menegaskan pemerintah harus bisa konsisten menjalankan visi dan misi hankam negara apalagi jika pemindahan ibu kota benar-benar terjadi. Sebab, menurutnya proses administrasi dan politik untuk memindahkan ibu kota tidak akan selesai hanya dalam lima tahun ke depan.
Selain itu, pemindahan ibu kota juga mengharuskan pemerintah membangun sejumlah infrastruktur militer baru di Kutai dan Penajam. Pembangunan tersebut akan memakan waktu yang lama, sementara ancaman hankam akan selalu ada setiap saat.
"Kita harus yakin betul bahwa kekuatan hankam kita masif, jangan sampai
road map pertahanan baru karena pemindahan ibu kota sudah dibuat berdasarkan analisis ancaman, kebutuhan, dan visi ke depannya, tiba-tiba ketika nanti ganti presiden rencana itu berubah lagi," kata Connie.
(rds/dea)