Joker dan Mereka yang Melawan Kerakusan Orang-orang Kaya

CNN Indonesia
Rabu, 09 Okt 2019 18:22 WIB
Pertentangan antara kelompok kaya dan miskin yang kemudian lahir menjadi gerakan massa seperti di film Joker juga terjadi di dunia nyata.
Ilustrasi film Joker. (Dok. Warner Bros Pictures)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kota Gotham, 1981. Alkisah saat itu hidup seorang lelaki bernama Arthur Fleck. Dia diceritakan hidup melarat bersama ibunya karena sulit mendapatkan pekerjaan.

Ditambah Arthur mengalami gangguan kejiwaan. Yakni kerap mendadak tertawa dalam kondisi emosi yang tertekan atau sedih. Impian Arthur untuk menjadi seorang pelawak sangat sulit dia raih, karena guyonannya dianggap tidak lucu-lucu amat.

Kariernya sebagai badut juga kandas setelah dipecat karena ketahuan membawa senjata api pemberian rekannya, saat pentas untuk menghibur anak-anak di rumah sakit. Hal itu dilakukan karena dia kerap menjadi korban penganiayaan saat bekerja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, saat itu Kota New York yang menjadi tempat tinggal Arthur sedang dirundung masalah. Yakni tingkat kemiskinan yang tinggi dan memicu kesenjangan sosial yang tajam.


Orang-orang frustasi mencari pekerjaan, tukang sampah mogok kerja hingga sampah menumpuk di kota tersebut. Saat itu muncul jutawan Thomas Wayne yang hendak bersaing menjadi wali kota.

Wayne yang konglomerat mengumbar janji pemerataan kesejahteraan sosial bagi segenap warga New York. Ternyata ibu Arthur, Penny, sangat mengagumi Thomas.

Terlepas dari itu, Arthur menganggap Thomas tidak ada bedanya dari orang kaya lain yang tak peduli dengan kaum miskin. Toh surat-surat dari sang ibu yang berharap supaya Thomas memperbaiki rumah susun, atau memindahkan mereka ke tempat yang lebih layak, tak sekalipun dibalas.

Keadaan memburuk ketika dia menembak mati tiga pegawai Thomas di kereta bawah tanah setelah diganggu.

[Gambas:Video CNN]

Perbuatan Arthur lantas memicu aksi sosial yang lebih besar lagi. Yakni gerakan kaum marjinal menentang orang-orang kaya yang berakhir dengan kerusuhan.

Perbuatan Arthur itu dianggap menjadi simbol amarah kolektif masyarakat kelas pekerja. Mereka menganggap para pialang saham dan orang-orang kaya merampas kesejahteraan dengan menghilangkan tabungan mereka bertahun-tahun dalam pertaruhan bursa saham.

Kondisi pertentangan antara si kaya dan si miskin  yang dicuplik dalam film itu sebenarnya tidak jauh dari kehidupan nyata. Gerakan rakyat menentang ketidakadilan dan menuntut pemerataan kesejahteraan sudah pernah terjadi di seantero dunia.

Dilansir CNNIndonesia.com dari berbagai sumber, salah satu contoh yang paling dekat adalah aksi massa 'Rompi Kuning' (Gilets Jaunes) yang terjadi di Prancis. Para buruh, petani, sopir, dan kalangan kelas pekerja lain mengepung Kota Paris dari daerah pedesaan menuntut Presiden Emmanuel Macron membatalkan kenaikan pajak bahan bakar minyak.

Mereka menilai kebijakan Macron cenderung 'lembut' kepada orang-orang kaya dan berbau neoliberal, tetapi di sisi lain sangat menyakiti rakyat kecil. Biaya hidup di Prancis sudah tinggi dan kenaikan pajak BBM semakin membuat rakyat jelata menjerit.

Joker dan Mereka yang Melawan Kekuatan PemodalIlustrasi demonstrasi kelompok rompi kuning di Prancis. (Abdul ABEISSA / AFP)

Mereka mendesak seharusnya Macron menaikkan pajak bagi orang-orang kaya. Ratusan ribu orang demonstran menyerbu Paris setiap akhir pekan, dan merusak sejumlah monumen yang dianggap simbol kalangan elit Prancis, seperti Jalan Champ-Elysses, tempat di mana butik-butik merek fesyen ternama berada.

Gerakan 'Occupy'

Ada juga gerakan untuk menduduki (Occupy) yang terjadi pada 2011 sampai 2012 di sejumlah negara. Aspirasi yang diusung adalah menuntut kesetaraan sosial dan ekonomi serta penegakan prinsip demokrasi di lembaga-lembaga negara.

Mereka menyinggung bagaimana kekuatan pemodal yang diwakili korporasi besar di dunia sebenarnya memperdaya negara dan masyarakat, demi meraih keuntungan segelintir pihak. Alhasil saat itu muncul slogan '99 Persen'.

Maksudnya adalah dari 100 persen populasi, hanya 1 persen golongan yang merasakan kesejahteraan tak terhingga. Sedangkan sisanya harus hidup melarat.

Ditarik jauh ke belakang, yakni pada Desember 1999, puluhan ribu demonstran mengamuk di Kota Seattle, Amerika Serikat selama empat hari. Mulai dari serikat buruh sampai pegiat HIV/AIDS menghimpun kekuatan menjadi satu.

Mereka menentang kebijakan pasar bebas yang diusung Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kejadian itu memperlihatkan bahwa kebijakan itu hanya mendatangkan keuntungan bagi segelintir penduduk dunia.

Gerakan-gerakan menentang kapitalisme dan politik neoliberal selalu dikaitkan dengan penganut anarkisme, sosialisme, hingga komunisme. Bagi mereka yang kontra, WTO, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, KTT G7 atau G20 adalah simbol pemodal tamak yang membuat rakyat kecil menderita dan harus dihancurkan.

Joker dan Mereka yang Melawan Kekuatan PemodalIlustrasi demonstrasi KTT G7. (Thomas SAMSON / AFP)

Sedikit banyak ada dampak dari kegetiran hidup dalam kemiskinan. 

Ada pula soal kesenjangan sosial, biaya kesehatan dan pendidikan yang tinggi, kesulitan lapangan pekerjaan, rezim yang otoriter, kerusakan lingkungan, korupsi yang merajalela, hingga elite negara hingga konglomerat hidup mewah juga yang memicu gelombang Arab Spring sejak 2010.

Sejumlah pemimpin yang dianggap lalim di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara satu persatu tumbang akibat gerakan massa. Mantan Presiden Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali, akhirnya kabur dari negaranya akibat unjuk rasa besar-besaran dan meninggal saat mengasingkan diri di Arab Saudi.

Tidak seluruh gerakan itu berhasil mencapai tujuannya dalam jangka panjang. Contohnya seperti di Mesir pada 2011, ketika gerakan rakyat berhasil mendesak Presiden Husni Mubarak lengser kemudian digantikan oleh mendiang Muhammad Mursi.

Saat itu rakyat menentang kediktatoran Mubarak, resesi serta minimnya lapangan pekerjaan. Akan tetapi, umur kekuasaan Mursi tidak lama karena dia kembali dikudeta dan Jenderal Abdul Fatah al-Sisi yang kini memimpin Mesir dengan gaya yang tidak jauh berbeda dari Mubarak.


Setali tiga uang dengan Mesir, kondisi di Libya juga mirip. Revolusi Libya yang terjadi pada 2011 berhasil menumbangkan kekuasaan Presiden Muammar Khaddafi.

Setelah Khaddafi dieksekusi oleh pemberontak, kondisi negara itu malah semakin kacau balau.

Di Libya malah ada dua pemerintahan yang berbeda. Satu di Tripoli yang diakui Perserikatan Bangsa-bangsa, lainnya berada di Benghazi. Kedua pemerintahan itu terlibat perang sipil sampai saat ini. (ayp/asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER