Pil Pahit Lockdown bagi Warga Permukiman Kumuh India

CNN Indonesia
Selasa, 31 Mar 2020 07:55 WIB
Warga dan pekerja migran yang tinggal di permukiman kumuh di India berada dalam situasi terhimpit setelah pemerintah mengumumkan untuk lockdown.
Ribuan buruh migran di India memilih pulang ke kampung halaman di tengah kebijakan lockdown. (Foto: AP/Altaf Qadri)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah India menyerukan masa penguncian wilayah (lockdown) selama 21 hari untuk menekan penyebaran virus corona (Covid-19). Perdana Menteri India Narendra Modi juga meminta semua warga untuk saling menjaga jarak, bahkan dengan keluarga.

Namun, hal tersebut sulit dilakukan oleh sekitar 74 juta orang di India yang hidup berimpitan satu sama lain di permukiman kumuh. Menjaga jarak satu sama lain bahkan mustahil dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah.

"Jalurnya sangat sempit, sehingga ketika kita saling menyeberang, kita tidak bisa melakukannya tanpa bahu kita bergesekan dengan orang lain," kata Jeetender Mahender (36), anggota kasta terendah India (Dalit) yang tinggal di premukiman kumuh Valmiki di utara Mumbai.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebijakan lockdown mungkin mudah diterapkan bagi orang-orang kalangan atas. Mereka dapat dengan nyaman berdiam diri di kondominium atau rumah mereka, makan enak di dapur yang lengkap persediaannya, dan bahkan bekerja dari rumah menggunakan teknologi modern.

Berbeda dengan seperenam populasi India yang merupakan kalangan menengah ke bawah. Situasi di tempat mereka tinggal sangat sempit dan menyedihkan, apalagi di tengah kebijakan lockdown.

Lewat siaran radio akhir pekan lalu, Modi meminta maaf kepada seluruh warga atas kebijakan lockdown yang berlaku, terutama kalangan menengah ke bawah yang dirugikan. Namun, ia menekankan kepada publik bahwa saat ini tidak ada cara lain untuk menekan penyebaran virus corona.

Minim ruang dan sanitasi

Mehender mengaku hingga kini belum berani meninggalkan gubuknya, kecuali untuk menggunakan toilet. Itu pun fasilitas yang ia harus gunakan bersama dengan warga lain yang berada di premukiman tersebut.

Kawasan perumahan yang sempit membuat hampir semua rumah tidak memiliki saluran air ataupun fasilitas sanitasi yang memadai di dalamnya.

"Ada 20 keluarga yang tinggal di dekat rumah kecil saya. Kita semua seperti hidup bersama. Jika salah satu dari kita jatuh sakit, kita semua akan mati," ujarnya seperti dilansir dari CNN.

[Gambas:Video CNN]

Absennya fasilitas sanitasi dan akses air membuat warga miskin di India terpaksa tetap keluar rumah setiap hari. Selain Mehender, Sia yang bekerja sebagai pekerja konstruksi dan mendiami perkampungan kumuh di Gurugram dekat New Delhi mengalami nasib serupa.

Ia tak menghiraukan perintah untuk tetap berada di rumah. Ia harus bangun sekitar pukul 05.00 pagi setiap harinya untuk mengambil air di tangki yang berjarak 100 meter dari rumahnya.

Setiap pagi, Sia dan sebagian besar pekerja konstruksi wanita di permukiman mandi dan mengambi air dari sana untuk persediaan di rumah. Slogan "Membersihkan India' yang menjadi misi pemerintah pada 2014 lalu tak ubahnya isapan jempol lantaran tak sepenuhnya berhasil meningkatkan infrastruktur dan meminimalisir tempat buang air di ruangan terbuka.

Di daerah Dharavi, Mumbai, bahkan hanya ada satu toilet untuk 1.440 warga dan 78 persen toilet umum di perkampungan kumuh Mumbai kekurangan persediaan air bersih.

Ahli epidemiologi, Sania Ashraf mengatakan misi India memang telah meningkatkan jumlah toilet umum. Namun pandemi yang terjadi saat ini kian mempersulit akses penggunaan toilet. Belum lagi pertukaran udara di dalam toilet umum yang tidak maksimal sehingga berpotensi memfasilitasi transmisi virus.
Pil Pahit 'Lockdown' bagi Warga di Pemukiman Kumuh IndiaFoto: CNN Indonesia/Fajrian
Pekerja migran berisiko tinggi

Kebijakan lockdown terasa tidak mewakili warga yang menghuni permukiman kumuh yang tetap harus bekerja untuk bisa hidup.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan dalam sehari pekerja migran di India rata-rata menghasilkan sekitar 138 hingga 449 rupee (sekitar Rp 30 ribu hingga Rp90 ribu). Kebijakan lockdown membuat hak mereka tersendat lantaran bisnis dan dunia usaha tutup.

Di daerah Dharavi, Mumbai, bahkan hanya ada satu toilet untuk 1.440 warga dan 78 persen toilet umum di perkampungan kumuh Mumbai kekurangan persediaan air.

"Karena pekerjaan kami terhenti, saya belum dibayar selama 20 hari. Saya dibayar US$5 (sekitar Rp82 ribu) sehari, uang yang saya peroleh itu membantu keluarga saya bertahan hidup," kata Sia.

Dalam situasi pandemi corona, para pekerja migran dihadapkan pada dilema untuk tetap bekerja dan berisiko terinfeksi, atau tinggal di rumah dan kelaparan.

Beberapa pekerja seperti petugas kebersihan bahkan tidak punya pilihan. Mereka dianggap memberikan layanan penting dan dikecualikan dari lockdown. Namun, tidak diberikan peralatan pelindung, seperti masker dan sarung tangan.

"Saya belum diberi masker atau sarung tangan, bahkan sabun untuk mencuci tangan sebelum makan. Saya tahu jika saya tidak pergi kerja hari ini, mereka akan mempekerjakan orang lain," kata Mahender.

Mahender dan keluarganya juga dalam kondisi kekurangan makanan. Apalagi, semenjak lockdown berlangsung, ia tidak mendapat bayaran karena tidak melakukan pekerjaan rutin sebagai pekerja lingkungan.

Untuk mengatasi kondisi ini, puluhan ribu pekerja migran memutuskan untuk pulang ke daerah masing-masing menggunakan bus yang disediakan pemerintah. Beberapa bahkan rela berjalan kaki ratusan kilometer lantaran operasional transportasi umum sementara dihentikan.

Kebanyakan memilih pulang karena kehilangan pekerjaan selama berada di kota. Belum lagi permukiman padat yang dikhawatirkan berpotensi menjadi tempat penyebaran virus corona.

Dilaporkan CNN, virus corona telah menginfeksi 1.024 orang dan menewaskan 27 jiwa di India. Setidaknya satu orang di perkampungan kumuh Mumbai telah dinyatakan positif virus corona. (ang/evn)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER