Jakarta, CNN Indonesia -- Para relawan khawatir akan terjadi petaka jika
virus corona sampai menyebar di dalam kamp pengungsian
Rohingya di perbatasan Bangladesh dan Myanmar.
Hal itu yang terlintas di benak seorang relawan asal Bangladesh, Mohammad Shamsuddoza, mengenai kondisi kamp pengungsi Rohingya yang sangat padat tersebut.
"Kami berusaha sekuat tenaga untuk melindungi mereka, tetapi jika terjadi penularan virus, maka akan menjadi pekerjaan berat bagi kami," kata Shamsuddoza, seperti dilansir
Associated Press, Jumat (3/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi di kamp pengungsian Rohingya di Cox's Bazar sangat padat. Dalam satu kilometer persegi diperkirakan dipenuhi oleh 40 ribu orang.
Mereka hidup di gubuk penampungan beratap dan dinding plastik. Dalam satu gubuk bisa diisi oleh 12 orang.
Agak sulit menerapkan kebijakan pembatasan jarak di antara mereka. Kondisi itulah yang membuat mereka sangat rentan jika terjadi penularan virus corona.
Kekhawatiran semakin menguat setelah ada laporan seorang perempuan Bangladesh berusia 75 tahun yang tinggal di dekat Cox's Bazar dinyatakan positif virus corona.
Sampai saat ini belum dilaporkan terjadi penularan kasus virus corona di kamp pengungsian Rohingya. Namun, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa juga tidak melakukan pemeriksaan massal, dan memutuskan mengirim orang yang memperlihatkan gejala sakit akibat mirip infeksi virus corona ke rumah sakit di Bangladesh.
"Kamp itu sangat padat, setiap keluarga punya banyak anggota. Jadi praktis sangat sulit menjaga jarak," kata Shamsuddoza.
Hal itu dikuatkan oleh pendapat direktur senior lembaga bantuan World Vision, Rachel Wolff.
"Semua organisasi yang ada di sini sudah memberitahu kami tentang gejala virus corona seperti batuk, pilek, atau radang tenggorokan," kata seorang pengungsi Rohingya, Golforaj Begum (54).
[Gambas:Video CNN]"Mereka juga memberitahu kami untuk menjaga jarak. Yakni seperti tidak sembarangan masuk ruangan, menjaga jarak 5 kaki dari orang lain, tidak ikut berkerumun, mencuci tangan dengan benar sebelum memasak dan makan, serta meminta kami selalu menjaga kebersihan," ujar Begum.
Pejabat Bangladesh yang mengurus kamp Rohingya, Mohammad Kamal Hossain, sudah melarang kunjungan warga asing yang tidak punya kepentingan mendesak. Hal itu dilakukan untuk menghindari penularan virus corona.
Hingga saat ini tercatat ada 54 kasus virus corona di Bangladesh. Malah sebagian penduduk yang baru pulang dari luar negeri, terutama dari wilayah yang terdampak para virus corona, tidak menjalankan aturan pembatasan jarak ataupun melakukan karantina mandiri.
Selain itu, rendahnya laporan kasus virus corona diduga karena rendahnya pemeriksaan serta keterbatasan alat uji. Bangladesh juga memutuskan menerapkan penguncian wilayah (lockdown) sampai 11 April dan mengerahkan tentara untuk memaksa para penduduk tetap berada di rumah.
Badan PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) menyiapkan tempat isolasi dengan 100 ranjang pasien di dalam kamp pengungsian Rohingya. Selain itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) turut membantu menyiapkan rumah sakit dengan 200 tempat tidur.
 Kamp pengungsi Rohingya di perbatasan Bangladesh. (AFP PHOTO / STR) |
UNHCR juga membangun tempat isolasi dengan 1.200 ranjang di luar kamp pengungsian Rohingya di Ukhiya dan Teknaf.
Para pengungsi Rohingya kabur dari tempat tinggal mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar akibat operasi militer pada Agustus 2017. Saat itu aparat keamanan Myanmar mengklaim mereka sedang memburu kelompok teroris yang menyerang pos-pos pemeriksaan.
Akan tetapi, operasi militer tersebut diduga melanggar hak asasi manusia karena aparat justru memburu, memperkosa, membunuh serta menghancurkan perkampungan Rohingya.
Pemerintah Myanmar tetap berkeras orang Rohingya adalah pendatang gelap dari Bangladesh. Padahal, Rohingya sudah hidup do Myanmar selama beberapa generasi.
Pemerintah Myanmar juga tidak memasukkan Rohingya sebagai etnis yang diakui dan berhak mendapat kewarganegaraan sejak pengesahan Undang-Undang Kewarganegaraan 1982.
 (CNN Indonesia/Fajrian) |
Hal itu membuat etnis Rohingya tidak mempunyai kewarganegaraan. Dampaknya adalah hak-hak dan pergerakan mereka terbatas dan tidak bisa mendapat pendidikan di Myanmar.
(ayp)