Jakarta, CNN Indonesia -- Dokter Amira Jamoussi tidak memiliki pilihan selain harus menghabiskan bulan suci
Ramadan tahun ini terisolasi dari keluarga karena menghindari risiko penularan
virus corona.
Dokter yang menangani pasien virus corona (Covid-19) di unit perawatan intensif Rumah Sakit Abderrahmane Memmi, Tunisia, itu terhitung sudah lima minggu tak pulang ke rumah.
Jamoussi menuturkan tugasnya sebagai dokter terasa lebih berat di tengah pandemi karena menjauhkannya dari anak laki-laki dan perempuannya yang berusia tujuh dan 11 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini sudah minggu kelima saya tidak memeluk anak-anak saya. Saya rindu mereka tetapi kami tidak memiliki pilihan lain," ucap Jamoussi sebelum mengenakan jubah APD, masker, dan kacamata pelindung untuk memulai shift-nya.
Jamoussi tidak sendiri. Ia bersama para koleganya juga tak berani pulang ke rumah karena khawatir membawa virus bagi orang-orang tercinta.
Lagi pula, menurut Jamoussi, waktu istirahat semakin berkurang lantaran para dokter dan suster harus bergantian berjaga untuk mengantisipasi kehadiran pasien corona baru.
"Saya sangat takut menularkan virus kepada keluarga saya. Saya pernah mengalami mimpi buruk akan hal itu," tutur Jamoussi.
Para petugas medis yang menangani corona juga tak diperbolehkan pulang begitu saja setelah selesai bekerja. Mereka harus diisolasi selama 14 hari.
Para petugas medis diperbolehkan melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing jika tinggal sendiri atau memiliki kamar serta kamar mandi terpisah dari anggota keluarga lainnya. Tak sedikit pula yang menghabiskan waktu isolasi di hotel dan penginapan yang telah disediakan pemerintah.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Tunisia, terdapat ratusan dokter dan tenaga medis yang tengah diisolasi di Ibu Kota Tunis saja.
Kerinduan Jamoussi semakin memuncak ketika ia bercengkrama bersama kedua anaknya melalui telepon atau panggilan video di sela-sela jam istirahat.
Terkadang, Jamoussi hanya bisa tersenyum tanpa bisa menjawab ketika anak-anak menanyakan kapan ia bisa pulang.
"Kedua anak saya bahkan sempat bertanya kapan saya akan berganti pekerjaan," kata Jamoussi seperti dilansir AFP.
Meski begitu, Jamoussi mengatakan beban dan rasa lelahnya kerap terbayar jika melihat satu per satu pasien sembuh dan bisa keluar dari rumah sakit.
"Apa yang membantu kami di sini bertahan adalah kepuasaan melihat pasien pulih," kata Jamoussi.
Kepala Departemen Pulmonologi RS Abderrahmane Memmi, Nawel Chaouch, mengatakan sejak pandemi merebak sebagain besar hidup para petugas medis banyak dihabiskan di rumah sakit dan ruang isolasi.
Chaouch mengamini bahwa situasi ini semakin terasa sulit karena saat ini memasuki bulan Ramadan yang biasanya dihabiskan bersama-sama dengan keluarga dan kerabat.
"Kehidupan isolasi menjadi sangat sulit menyusul tibanya bulan Ramadan. Ada banyak wanita di antara para staf medis kami. [Mereka] mendelegasikan pekerjaan ibu rumah tangga seperti mempersiapkan makanan saat Ramadan kepada para suami juga tidak mudah," tutur Chaouch.
Menurut Chaouch para staf medis bisa menghabiskan beberapa hari liburnya dengan keluarga setelah menjalani karantina dan pemeriksaan corona. Karena itu, permintaan tes Covid-19 sangat tinggi dari para tenaga medis.
"Para petugas medis terus-menerus meminta untuk diperiksa sehingga mereka dapat meninggalkan ruang isolasi secepat mungkin jika hasilnya negatif," kata Chaouch.
Menurut Chaouch, tidak semua petugas medis memiliki kondisi yang lebih baik selepas menyelesaikan shiftnya. Banyak dokter dan perawat yang tidak memiliki tempat tinggal layak.
"Hal tersulit adalah melihat beberapa rekan tenaga medis menjalani isolasi mandiri dalam kondisi yang memprihatinkan," katanya.
Menurut data statistik Worldometer per Kamis (30/4), Tunisia tercatat memiliki 980 kasus corona dengan 40 kematian. Sejauh ini, dari ratusan kasus corona itu sebanyak 294 pasien telah dinyatakan sembuh.
(rds/ptr)
[Gambas:Video CNN]