Jakarta, CNN Indonesia -- Aksi demonstrasi besar-besaran yang melibatkan ratusan warga
Hong Kong kembali terjadi. Tahun lalu, Hong Kong menghadapi gelombang protes besar-besaran yang berujung ricuh lantaran warga menentang
RUU Ekstradisi.
Secara resmi Hong Kong merupakan daerah administratif khusus Republik Rakyat China. Hong Kong mempertahankan sistem pemerintahan terpisah dari China dengan menganut prinsip 'satu negara, dua sistem'.
Penolakan terhadap RUU Ekstradisi dilakukan oleh warga lantaran aturan tersebut memungkinkan tersangka suatu kasus diadili di luar Hong Kong, termasuk di China.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para demonstran dan aktivis tidak terima dengan aturan tersebut karena menganggap sistem peradilan di China kerap bias, terutama jika terkait dengan Hong Kong sebagai wilayah otonomi.
Sistem peradilan di China dinilai lebih suram dibandingkan Hong Kong. Tak hanya itu, para pedemo menolak RUU tersebut lantaran menganggap sistem peradilan China tidak menjamin hak yang sama terhadap terdakwa.
Gelombang protes massal akhirnya membuahkan hasil. Pemerintah Hong Kong secara resmi mencabut RUU Ekstradisi pada Oktober 2019.
Akan tetapi pencabutan tersebut tidak serta merta meredam gejolak di kalangan pedemo. Aktivis menyatakan sejumlah tuntutan yang mereka ajukan belum dikabulkan oleh pemerintah.
Tuntutan tersebut yakni berupa penyelidikan atas tindak kekerasan yang dilakukan polisi, pemberian ampunan kepada ribuan aktivis yang ditangkap, dan meminta Pemimpin Eksekutif Carrie Lam untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Aksi protes yang dilakukan pedemo pun tak lagi berjalan damai, mereka mulai beringas dan kerap menyerang anggota polisi. Tak hanya itu, pedemo juga mulai merusak fasilitas umum, toko, hingga perusahaan yang memiliki kaitan dengan China.
[Gambas:Video CNN]Demo beringas terus berlanjut hingga pergantian tahun 2020. Aksi protes yang dilakukan pedemo mulai dilancarkan dengan pelemparan bom molotov hingga penggunaan benda-benda tajam yang dipakai melindungi diri dari serangan petugas kepolisian.
Pihak China menuduh ada kekuatan asing yang menjadi dalang di balik demo ricuh di Hong Kong.
Wakil Presiden China, Han Zheng pada awal November lalu mengatakan akan lebih proaktif menyelesaikan masalah yang sedang terjadi di Hong Kong.
"Kami sangat tegas mendukung pemerintah wilayah khusus (Hong Kong) untuk lebih proaktif dan menerapkan langkah yang efektif guna menyelesaikan masalah sosial," ujar Han seperti dilansir dari Channel NewsAsia, Kamis (7/11).
Sementara itu Partai Komunis China menyatakan tidak akan memberi toleransi terhadap aksi protes yang menjurus kepada aksi separatis, sebab sejumlah aktivis turut menyuarakan tuntutan kemerdekaan Hong Kong. Han menilai aksi kekerasan pedemo sudah melewati batas hukum dan moralitas.
Mereda sesaat ketika pandemi coronaSetelah terjadi serangkaian aksi baku hantam antara pedemo dan petugas kepolisian, demonstrasi sempat mereda di tengah merebaknya pandemi virus corona.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Draf RUU Keamanan Nasional baru yang diusulkan China pada Jumat (22/5) lalu kembali memantik amarah warga Hong Kong.
 Polisi Hong Kong menindak pedemo RUU Lagu Kebangsaan China pada Rabu (27/5). (AP Photo/Vincent Yu) |
Para pendemo menentang RUU Keamanan Nasional dari China karena memungkinkan aparat keamanan Negeri Tirai Bambu beroperasi di Hong Kong. Hal ini dikhawatirkan akan memudahkan Beijing melakukan penumpasan terhadap warga lokal yang menentang mereka.
Mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya, surat kabar South China Morning Post melaporkan RUU itu melarang pemisahan diri (separatis), campur tangan asing, terorisme, dan semua kegiatan hasutan yang bertujuan menggulingkan pemerintah pusat dan segala gangguan eksternal di Hong Kong.
Pejabat China terus mendesak agar RUU tersebut bisa segera disahkan. Mereka menganggap aturan itu justru diperlukan untuk mencegah kerusuhan dan melindungi keamanan nasional.
Mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya, surat kabar South China Morning Post melaporkan RUU itu melarang pemisahan diri (separatis), campur tangan asing, terorisme, dan semua kegiatan hasutan yang bertujuan menggulingkan pemerintah pusat dan segala gangguan eksternal di Hong Kong.
Pejabat China terus mendesak agar RUU tersebut bisa segera disahkan. Mereka menganggap aturan itu justru diperlukan untuk mencegah kerusuhan dan melindungi keamanan nasional.
Rencana itu memicu keprihatinan internasional. Hong Kong seharusnya menikmati hak dan kebebasan di bawah kerangka 'satu negara dengan dua sistem' yang disepakati ketika wilayah itu dikembalikan ke China hingga 2047.
Belum usai dengan RUU Keamanan Nasional, demonstrasi kembali pecah di Hong Kong untuk menolak RUU Lagu Kebangsaan China. Demo yang digelar sejak Minggu (24/5) hingga hari ini melibatkan ratusan orang.
Pada Rabu (27/5), anggota parlemen Hong Kong menyelenggarakan rapat untuk membahas RUU lagu kebangsaan China. Apabila RUU tersebut disahkan, maka siapa saja yang menghina lagu kebangsaan China bisa dikenakan hukuman hingga tiga tahun penjara.
Polisi yang mengamankan kantor Dewan Legislatif memblokade jalan dan menyemprotkan bubuk merica dan gas air mata untuk membubarkan massa. Tak hanya itu, polisi juga menangkap sedikitnya 300 pedemo yang meneriakkan slogan-slogan penolakan terhadap RUU tersebut.
"Penegakan tindakan tegas akan diambil. Pelanggar akan ditangkap dan kendaraan apapun yang menyebabkan hambatan serius akan segera ditindak," kata pihak kepolisian merespons sikap yang diambil terhadap para pedemo.
(ans/evn)