Jakarta, CNN Indonesia -- Persoalan sengketa
Laut China Selatan (LCS) terus bergulir dan bahkan menghangat belakangan ini.
Hal itu tidak lain dampak dari sikap Amerika Serikat yang melakukan intervensi dengan menerjunkan kekuatan kapal perang angkatan laut mereka di perairan tersebut.
Laut China Selatan memang menggiurkan. Perairan itu adalah salah satu pintu gerbang komersial yang krusial bagi sebagian besar industri logistik dunia, dan menjadi sub-wilayah ekonomi strategis di kawasan Indo-Pasifik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara geografis, LCS memainkan peran penting dalam geopolitik Indo-Pasifik yang berbatasan dengan Brunei Darussalam, Kamboja, China, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam.
Wilayah Laut China Selatan meliputi Kepulauan Spratly, Kepulauan Paracel, Pratas, Kepulauan Natuna, dan Gugus Karang Scarborough.
Dilansir
CFR Global Conflict Tracker, total nilai perdagangan yang melintasi kawasan Laut China Selatan pada 2016 mencapai US$3,37 triliun. Perdagangan gas alam cair global yang transit melalui LCS pada 2017 sebanyak 40 persen dari total konsumsi dunia.
Selain itu LCS juga kaya akan sumber daya hasil laut, meskipun dalam praktiknya cenderung dieksploitasi secara berlebihan. Perairan itu juga dilaporkan memiliki cadangan minyak dan gas yang signifikan.
Diperkirakan ada 11 miliar barel minyak yang belum dimanfaatkan dan 190 triliun kaki kubik cadangan gas alam di LCS.
Atas nilai kekayaan alam dan potensi ekonomi tersebut diduga menjadi faktor yang memperburuk sengketa maritim dan teritorial antarnegara di kawasan itu.
Persaingan klaim kedaulatan teritorial atas pulau-pulau dan perairan di LCS telah menjadi sumber ketegangan dan saling curiga yang berlangsung sejak lama.
Klaim Tiongkok atas kedaulatan LCS telah memantik ketegangan di antara negara lain yang juga sama-sama mengklaim berhak atas kawasan tersebut. Mereka adalah Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang disepakati pada 1982 dan mulai berlaku pada 1994 menetapkan kerangka hukum untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan keamanan negara-negara pantai dengan kepentingan negara-negara pelaut.
 Infografis Silang Sengketa Laut China Selatan. (CNN Indonesia/Timothy Loen) |
UNCLOS menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yaitu 200 mil wilayah laut yang memperluas hak eksploitasi tunggal kepada negara-negara pesisir atas sumber daya laut. Namun, ZEE tidak pernah dimaksudkan berfungsi sebagai zona keamanan, dan UNCLOS juga menjamin hak lintas yang luas bagi kapal laut dan pesawat militer.
China mempertahankan argumen soal kedaulatan Laut China Selatan dengan sandaran hukum internasional. Militer asing tidak diperbolehkan melakukan kegiatan intelijen seperti penerbangan intai di ZEE.
UNCLOS telah ditandatangani dan diratifikasi oleh hampir semua negara pantai di LCS, tetapi interpretasinya masih diperdebatkan. Selain itu, perselisihan hukum dan teritorial juga masih terjadi terutama mengenai status Kepulauan Spratly, Paracel, dan Scarborough.
Di Kepulauan Spratly ada lebih dari 60 bentuk geografis dilaporkan ditempati oleh negara penuntut yang terdiri dari Taiwan, Vietnam, Filipina, China, dan Malaysia. Sementara Kepulauan Paracel adalah diklaim oleh China, Vietnam, dan Taiwan.
Tiongkok mengajukan klaim terbesar di LCS dengan argumen Sembilan Garis Imajiner (
Nine Dash Line) dalam peta yang diterbitkan Pemerintah Kuomintang pada 1947. China mengklaim mempunyai bukti sejarah tentang klaim itu yakni nelayan mereka sudah sejak lampau melaut di sana. Namun argumen tersebut dinyatakan tidak bisa diterima karena tak ada landasan hukum, serta masih diperdebatkan oleh negara lain yang bersengketa dan klaim itu tidak memiliki landasan hukum di bawah UNCLOS, seperti dilansir
Lowy Institute.
Tak hanya diperebutkan dengan negara-negara Asia, Australia juga memiliki kepentingan penting di LCS baik secara ekonomi, kebebasan perdagangan dan navigasi, serta secara geopolitik.
Sejak 1980, Australia telah melakukan operasi pengintaian udara di LCS dan Samudra Hindia yang disebut sebagai Operation Gateway. Patroli itu mengerahkan pesawat intai maritim P-3 Orion dan beberapa di antaranya dipergoki China.
Sebagai sekutu Amerika Serikat, Australia kemungkinan mendapat tekanan besar dari AS untuk menunjukkan taring di Laut China Selatan.
AS memiliki peran dalam mencegah eskalasi militer yang dihasilkan dari sengketa teritorial.
Kegagalan para pemimpin China dan Asia Tenggara untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara diplomatik dapat merusak hukum internasional yang mengatur perselisihan maritim di kawasan itu.
(ayp/ans/ayp)
[Gambas:Video CNN]