China sempat dihantui ancaman gelombang kedua penularan virus corona setelah pihak berwenang mendeteksi kemunculan ratusan kasus baru di Ibu Kota Beijing sekitar pertengahan Juni lalu.
Ratusan kasus baru Covid-19 itu berasal dari klaster pasar Xinfadi, selatan Beijing.
China dinilai berhasil menekan angka penularan dalam waktu yang cukup singkat dengan sejumlah strategi seperti penerapan isolasi partial atau penguncian wilayah (lockdown) lokal dan lagi-lagi pemeriksaan Covid-19 secara masif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak pertengahan Juni lalu, China dilaporkan telah memeriksa lebih dari 10 juta penduduk Beijing demi menyetop rantai penularan corona.
Segera setelah beberapa kasus corona baru terdeteksi berasal dari pasar Xinfadi, pejabat kesehatan China mengimbau seluruh warga yang pernah mengunjungi pasar itu untuk melakukan pemeriksaan Covid-19.
Pemerintah China bahkan mengerahkan pasukan relawan untuk mendatangi setiap rumah warga di Beijing untuk memastikan siapa saja yang sempat mengunjungi pasar Xinfadi dan berpotensi menjalin kontak dengan pasien.
Sejumlah warga diperintahkan melakukan pemeriksaan Covid-19 setelah pihak berwenang melacak seluruh pelat nomor kendaraan yang berada di sekitar pasar Xinfadi dan mendapati bahwa mereka sempat mengunjungi pasar itu.
![]() |
Komisi kesehatan nasional di Beijing juga segera melakukan penyelidikan asal mula kemunculan kasus corona di pasar itu yang diyakini berasal dari sebuah talenan pemotongan ikan salmon. Sejak itu, pemerintah China menangguhkan impor salmon untuk sementara waktu.
Tak hanya pemeriksaan massal, pemerintahan Presiden Xi Jinping juga segera menutup pasar Xinfadi dan beberapa pasar lainnya di ibu kota.
Pihak berwenang juga mengisolasi belasan perumahan di sekitar pasar Xinfadi. Seluruh warga yang tinggal di zona merah penularan juga dilarang bepergian ke luar kota.
Demi memperketat pergerakan, pemerintah Beijing sempat menerapkan penguncian wilayah dan menutup akses keluar masuk ibu kota, termasuk jalur penerbangan.
"Tidak ada negara yang memiliki sumber daya, kapabilitas, tekad, kemampuan finansial, dan tentu saja kemampuan sosial untuk melakukan strategi semacam itu selain China," kata Leong Hoe nam, spesialis penyakit menular Rumah Sakit Mounth Elizabeth Novena, Singapura, kepada AFP.
Menurut sejumlah pihak, China belajar dari pengalaman pertama ketika virus corona pertama kali muncul di negara itu untuk lebih cepat tanggap dalam menangani penularan Covid-19.
Sebab, penanganan wabah yang lambat dinilai sejumlah pihak membuat perekonomian China terpukul keras lantaran harus menerapkan kebijakan ekstrem seperti penguncian wilayah total negara tersebut yang menyebabkan sektor bisnis dan usaha lumpuh.
"Negara itu (China) tidak mungkin kembali ke cara lama kecuali ada wabah yang lebih serius. Gelombang pertama corona membuat (China) lebih waspada dan berhati-hati, terutama dalam menerapkan kebijakan pembatasan pergerakan dan lockdown," papar ekonom senior IHS Markit Yating Xu.
(rds/dea)