Penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan negara-negara Barat melanggengkan perang di Yaman selama enam tahun terakhir karena memasok senjata. Mereka juga melanggar hukum internasional.
Di tahun ketiga selama berturut-turut, panel ahli yang ditunjuk PBB menemukan bahwa semua pihak yang terlibat dalam konflik telah melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia.
Pihak-pihak tersebut termasuk pemerintah Yaman, Houthi yang berpihak pada Iran, Dewan Transisi Selatan yang didukung Emirat, dan koalisi militer yang dipimpin Arab Saudi.
"Yaman tetap menjadi tanah yang tersiksa, dengan rakyatnya yang dirusak dengan cara yang seharusnya mengejutkan hati nurani umat manusia," ujar Ketua Panel, Kamel Jendoubi.
Perang Houthi yang menguasai ibu kota pada 2014 dan koalisi negara-negara Arab untuk menggulingkan pemberontak telah menciptakan sesuatu yang digambarkan PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Laporan yang mencakup pelanggaran dari Juni 2019 hingga Juni 2020 mendokumentasikan empat serangan udara koalisi atau serangkaian serangan udara.
Mengutip "salah satu serangan udara paling mematikan" tahun ini, panel itu menemukan sekitar 50 warga sipil tewas dan terluka di daerah Al-Hayjah di Provinsi Al-Jawf pada Februari.
Mengutip Al Monitor, laporan itu juga menyebut Amerika Serikat, Kanada, Prancis, Inggris Raya, dan Iran berperan atas "dukungan mereka kepada pihak-pihak yang berkonflik termasuk melalui transfer senjata, sehingga membantu melanggengkan konflik".
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam konferensi pers, profesor hukum dari panel tersebut, Ardi Imseis, mengumumkan bahwa Kanada ditambahkan dalam daftar negara karena meningkatnya penjualan senjata tahun lalu.
Rekaman serangan lintas batas terhadap pasukan Saudi yang dirilis tahun lalu oleh Houthi memperlihatkan kendaraan lapis baja ringan buatan Kanada yang tampaknya sudah rusak.
"Karena itu kami mengulangi seruan kami kepada negara-negara untuk berhenti menyerahkan senjata kepada pihak-pihak yang berkonflik," ujar Imseis.
"Tanggung jawab atas pelanggaran ini terletak pada semua pihak yang berkonflik, yaitu pemerintah Yaman, otoritas de facto (Houthi), Dewan Transisi Selatan dan anggota koalisi, khususnya di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab," terang anggota panel lainnya, Melissa Parke, kepada wartawan seperti dilansir Middle East Monitor.
AS telah menjual miliaran senjata ke Arab Saudi, dan hingga 2018 membantu kampanye militer Riyadh di Yaman dengan pengisian bahan bakar di udara.
Para ahli meminta Dewan Keamanan PBB (DK PBB) untuk merujuk situasi di Yaman ke Pengadilan Kriminal Internasional dan memperluas daftar orang yang menjadi sasaran sanksi.
"Komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk mengakhiri pandemi impunitas ini. Setelah bertahun-tahun mendokumentasikan jumlah korban yang mengerikan dari perang ini, tidak ada yang bisa mengatakan 'kami tidak tahu apa dengan yang terjadi di Yaman'," kata Jendoubi.
Ribuan warga sipil tewas dalam serangan udara koalisi dan pertempuran menyebabkan sekitar 80 persen penduduk membutuhkan bantuan.
Panel ahli mengatakan pihak-pihak yang berkonflik telah melakukan penghilangan paksa, penahanan yang sewenang-wenang, penyiksaan, dan kekerasan seksual.
Selain itu, Houthi yang didukung Iran di awal konflik telah menanam ranjau darat. Ranjau-ranjau itu masih melukai dan membunuh warga sipil. Beberapa yang terbunuh termasuk seorang gadis berusia 15 tahun yang mati saat sedang menggembala domba dan seorang bocah lelaki berusia 12 tahun yang tewas saat menggembala ternak.