ANALISIS

Normalisasi Arab-Israel dan Nasib Palestina

CNN Indonesia
Senin, 14 Sep 2020 15:53 WIB
Kesepakatan normalisasi hubungan antara Israel dengan UEA serta Bahrain membuat peta politik di Timur Tengah perlahan berubah.
Ilustrasi. Kesepakatan normalisasi hubungan antara Israel dengan UEA serta Bahrain membuat peta politik di Timur Tengah perlahan berubah. (iStockphoto/Aleksandra Aleshchenko)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kesepakatan normalisasi hubungan antara Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) serta Bahrain membuat peta politik di Timur Tengah perlahan berubah.

Setelah sekian lama negara-negara Arab bersikap bermusuhan dengan Israel, kini perlahan mereka merangkul Negeri Zionis itu.

Bahrain dan UEA secara terbuka sepakat menjalin hubungan diplomatik lewat perjanjian yang ditengahi Amerika Serikat pada Agustus lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kondisi itu terjadi tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Diplomasi senyap dan pendekatan bertahun-tahun dari Israel disebut-sebut akhirnya meluluhkan hati sejumlah pemimpin Arab.

Dilansir AFP, Presiden AS Donald Trump mengatakan perjanjian damai kedua negara menandai "hari bersejarah" tentang upaya perdamaian di Timur Tengah. Hal tersebut juga diakui PM Israel, Benjamin Netanyahu.

Perjanjian damai yang berjuluk Abraham Accord itu rencananya akan disahkan pada Selasa (15/9) besok di Gedung Putih, Washington D.C.

Lebih menguntungkan Israel

Normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dengan Israel dinilai sebagai peristiwa bersejarah. Selama ini, negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam Liga Arab menolak hubungan diplomatik dengan Israel demi membela Palestina.

Merujuk pada sikap UEA dan Bahrain, diprediksi kemungkinan akan ada lebih banyak negara Arab yang mengikuti jejak mereka. Di samping itu, campur tangan AS dalam melobi negara-negara Arab menjadi salah satu faktor yang mendukung.

Meski demikian, normalisasi ini cenderung menguntungkan Israel dibandingkan negara Timur Tengah.

Hal itu diungkapkan oleh Kepala Departemen Program Kajian ASEAN The Habibie Center, Ibrahim Almuttaqi.

"Perasaan saya (mengatakan) bahwa perjanjian ini akan lebih menguntungkan Israel daripada negara-negara Arab. Israel telah memenangkan status tertinggi (atas) pengakuan internasional oleh (negara) tetangga Arab-nya," kata Ibrahim kepada CNNIndonesia.com, Senin (14/9).

Menurutnya, pengakuan itu bernilai jauh lebih tinggi dibandingkan keuntungan ekonomi apa pun yang bisa didapat dari formalisasi hubungan dengan negara-negara Arab.

Ibrahim menuturkan hal itu dilatarbelakangi karena sebelumnya UEA dan Bahrain kemungkinan sudah memiliki hubungan perdagangan informal dengan Israel, jauh sebelum perjanjian itu digaungkan. Situasi ini tidak akan mengubah banyak hal di antara ketiga negara.

Salah satu poin utama yang membuat UEA setuju menormalisasi hubungan yakni janji Israel untuk menghentikan aneksasi Tepi Barat. Namun, pernyataan itu berubah dengan Israel mengaku hanya menangguhkannya saja dan tidak berencana menghentikannya.

Beberapa waktu lalu, Bahrain sendiri pernah menyatakan bahwa negaranya menolak mengikuti jejak UEA jika Palestina belum mendapatkan jaminan akan merdeka. Negara itu juga menegaskan bahwa akan melakukan normalisasi hubungan hanya jika Arab Saudi yang dinilai sebagai pemimpin di jazirah Arab juga melakukan kesepakatan serupa.

Meski begitu, tak lama setelahnya, Bahrain bersikap mengejutkan dengan menyambut normalisasi dengan tangan terbuka. Bahkan, negara itu sudah bersepakat akan bergabung dengan UEA untuk meresmikan kesepakatan di Gedung Putih pada 15 September mendatang.

Tentu hal ini akan membuat posisi Palestina semakin terjepit. Sebab, jika negara-negara Arab mulai berpaling ke Israel, maka mereka tidak akan mempunyai pihak-pihak "mengawal" mereka di Timur Tengah.


Keraguan Arab Saudi

Di luar sikap mengejutkan Bahrain dan UEA yang seolah berbalik berkawan dengan Israel, Ibrahim menilai Arab Saudi masih agak ragu untuk meresmikan hubungan dengan Israel. Meski kabar burung yang berembus menyatakan bahwa Putra Mahkota Muhammad Bin Salman mendukung rencana itu.

"Arab Saudi tetap merupakan (negara dengan) masyarakat yang sangat konservatif dan legitimasi pemerintah terletak pada statusnya sebagai pembela Islam, termasuk perjuangan Palestina," ujar Ibrahim.

"Jika Arab Saudi meninggalkan Palestina, kita mungkin melihat Iran menjadi lebih berpengaruh dalam masalah ini, dan ini adalah sesuatu yang ingin dihindari oleh Arab Saudi (dan Amerika Serikat)," lanjutnya.

Iran diketahui merupakan musuh bersama AS dan Arab Saudi. Negara pimpinan Ayatollah Ali Khamenei itu juga diketahui bolak-balik mengecam normalisasi yang dilakukan UEA dengan menyebutnya tindakan bodoh dan bentuk pengkhianatan.

Sementara itu, upaya gencar yang dilakukan menantu Presiden Trump sekaligus penasihatnya, Jared Kushner, yang berkunjung ke negara-negara Arab semakin terlihat sebagai upaya Trump untuk menarik simpati publik AS menjelang pemilihan umum. Di sisi lain, hal ini tentu untuk mendongkrak pamor Trump di Negeri Paman Sam menjelang pemilihan presiden dari pesaing utamanya, Joe Biden.

"AS tampaknya menargetkan kesuksesan yang lebih dapat dicapai, yaitu membuat negara-negara Arab tertentu yang sudah memiliki hubungan tidak resmi dengan Israel, untuk meresmikannya dan menggambarkan itu sebagai pencapaian Trump," ungkap Ibrahim.

(ans/ayp)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER