Asosiasi Jurnalis Hong Kong pada Kamis (24/9) memprotes aturan baru yang membatasi pewarta yang boleh meliput selama terjadi demonstrasi.
Mereka menyatakan pemerintah tidak memiliki hak untuk menentukan siapa yang bisa menjadi reporter.
Melansir Associated Press, aturan yang diuraikan polisi dalam sebuah surat pada Selasa lalu itu dikritik sebagai kemunduran kebebasan pers di Hong Kong, yang dinilai semakin menguat sejak China memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional pada Juni lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beleid itu juga bisa menjerat orasi politik jika dianggap berisi pesan menghasut atau menjurus kepada separatisme.
Menurut surat dari kepolisian, hanya jurnalis yang terdaftar di Layanan Informasi Media dan Berita Pemerintah atau anggota media asing yang akan "diakui secara internasional dan bereputasi" selama meliput demonstrasi.
Hal itu nampaknya akan melemahkan otoritas Asosiasi Jurnalis dan Asosiasi Fotografer Pers Hong Kong. Seperti halnya di China, pejabat pemerintah berhak memeriksa calon anggota pers dan menerbitkan kartu pers.
"Polisi tidak dapat diizinkan menggunakan sarana administratif hanya untuk menyaring media yang diakui secara resmi, sehingga merusak hak-hak dasar rakyat Hong Kong," kata Asosiasi Jurnalis Hong Kong dalam sebuah pernyataan.
Dalam suratnya, polisi mengatakan tujuan aturan itu adalah untuk menyingkirkan para pembuat onar yang menyamar sebagai jurnalis. Menurut mereka, upaya itu mengganggu penindakan yang dilakukan polisi terhadap pengunjuk rasa selama beberapa bulan, yang terkadang disertai dengan demonstrasi anti-pemerintah dan berujung bentrokan.
"Setelah amandemen, definisi 'perwakilan media' akan menjadi lebih jelas dan tegas, memungkinkan petugas di garis depan secara efisien dan cepat memverifikasi identitas perwakilan media, sehingga fasilitas dapat diberikan tanpa mengorbankan efisiensi operasional polisi," demikian isi surat tersebut.
Peraturan untuk menyerahkan tugas penentuan saluran media apa yang "diakui secara internasional dan bereputasi" kepada polisi dapat mendiskriminasi pekerja lepas, jurnalis independen, dan mahasiswa yang sering bekerja sendiri dengan peralatan dan infrastruktur yang terbatas.
Posisi Hong Kong terus menurun dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia tahunan menurut laporan lembaga Jurnalis Tanpa Batas (RSF). Wilayah semi-otonom itu turun tujuh tingkat pada tahun ini di posisi 80.
Menurut RSF, kebebasan pers di Hong Kong sudah mundur akibat tekanan dari Beijing. Mereka memberi contoh kasus pengusiran editor Financial Times Asia, Victor Mallet, pada Oktober 2018 setelah dia memimpin acara di Klub Koresponden Asing Hong Kong yang dikecam oleh Beijing.
(ans/ayp)