Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengunjungi wilayah sengketa di Siprus Utara pada Minggu (15/11), kunjungan itu lantas membuat para pemimpin Yunani dan Siprus marah.
Erdogan mengaku mendukung solusi dua negara dalam sengketa Siprus yang secara efektif telah dipecah sejak 1974, di mana komunitas Yunani, Turki, dan ibu kota Siprus, Nicosia, dipisahkan oleh zona penyangga yang dikenal sebagai Garis Hijau (Green Line).
Dilansir The New York Times, Erdogan mengatakan ada "dua orang berbeda di pulau itu dengan dua tatanan demokrasi yang berbeda".
Kunjungan itu dilakukan ketika Turki sedang berselisih dengan Yunani dan negara-negara Mediterania timur lainnya atas cadangan gas alam yang kaya di kawasan itu. Perselisihan tersebut pun semakin termiliterisasi.
Republik Siprus yang diakui secara internasional menguasai sekitar dua pertiga pulau itu. Turki menginvasi bagian utara pulau pada 1974 dan mengakui daerah itu sebagai Republik Turki Siprus Utara, tapi tidak ada negara lain yang mengakui wilayah itu sebagai milik Turki.
Kunjungan Erdogan juga terjadi pada peringatan 37 tahun "kemerdekaan" wilayah itu. Dalam kunjungannya, Erdogan bertemu dengan Ersin Tatar, seorang pemimpin pro-Turki yang memenangkan pilpres di Siprus utara bulan lalu.
Kunjungan Erdogan juga memicu kritik, termasuk kunjungannya ke Famagusta, kota turis yang dulu sempat ramai tapi kemudian ditinggalkan setelah pasukan Turki menyerbu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kunjungan itu dilakukan sebulan setelah pemerintah Turki mengumumkan bahwa mereka telah membuka kembali sebagian area tepi pantai Varosha di Famagusta. Daerah itu dekat dengan Garis Hijau yang memisahkan komunitas Yunani dan Turki.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) sendiri telah menyerukan pembalikan dari keputusan tersebut, pihaknya khawatir pembukaan kembali kawasan itu akan meningkatkan ketegangan.
Baik Siprus maupun Yunani dengan tegas mengutuk kunjungan Erdogan. Pemerintah Siprus mengatakan keputusan Erdogan untuk melakukan perjalanan pada "peringatan kelam dari deklarasi rezim ilegal" menunjukkan kurangnya rasa hormat Turki terhadap hukum internasional dan nilai-nilai Eropa.
Pihaknya menilai kunjungan itu akan "menghentikan" upaya PBB untuk merundingkan solusi atas sengketa tersebut.
Senada dengan Siprus, Kementerian Luar Negeri Yunani menyebut langkah itu sebagai "provokasi yang belum pernah terjadi sebelumnya" yang melanggar resolusi Dewan Keamanan.
Sementara itu, lewat sambutannya pada kunjungan itu, Erdogan menyatakan keengganannya untuk mundur.
"Tidak ada persamaan di Mediterania Timur, di mana Turki dan Republik Siprus Utara tidak dilibatkan secara adil (padahal) dapat menghasilkan perdamaian dan stabilitas," ujarnya.
Siprus adalah rumah bagi misi penjaga perdamaian terlama dalam sejarah PBB. Tahun lalu, upaya untuk menghidupkan kembali pembicaraan damai telah gagal.
Negosiasi terakhir tersendat pada 2017 setelah adanya ketidaksepakatan mengenai nasib lebih dari 35 ribu tentara Turki yang masih berada di wilayah itu.
(ans/dea)