Massa pro-demokrasi Thailand berencana untuk kembali menggelar aksi demonstrasi besar-besaran pada Rabu (25/11). Aksi demo kali ini dilakukan seiring dengan meningkatnya ketegangan pasca polisi Thailand pekan lalu menembak enam pedemo dan melepaskan meriam air (water cannon) di jalan-jalan Bangkok.
Selama empat bulan aksi unjuk rasa, suasana kian terasa panas. Para pemimpin protes memperingatkan jika mereka tidak siap untuk berkompromi terkait tuntutan yang selama ini disuarakan.
Slogan dan penghinaan terhadap monarki kian berkembang biak, sementara polisi anti huru-hara sejak pekan lalu menyatakan siap mengambil tindakan tegas terhadap aksi unjuk rasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir AFP, gerakan yang dipimpin oleh mahasiswa tersebut telah mendapatkan basis yang kuat di jalan-jalan dan media sosial. Para ahli mengatakan kelompok "Red Shirts" yang pernah gencar memimpin aksi protes besar satu dekade lalu dapat bergabung dalam massa unjuk rasa kali ini.
Para demonstran menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Prayut Chan-O-cha yang telah berkuasa sejak 2014 melalui kudeta, menuntut perubahan konstitusi, dan reformasi monarki.
Pekan lalu, PM Prayut telah menginstruksikan agar petugas keamanan di lapangan untuk menindak pedemo.
Profesor Ilmu Politik di Universitas Chulalongkorn, Siripan Nogsuan Sawasdee mengatakan kepada AFP bahwa massa perlu memprioritaskan tuntutannya dan memfokuskan kepemimpinannya pada beberapa tokoh terkemuka jika ingin membuat kemajuan.
Tapi dengan tuntutan mereka yang sangat tabu untuk mereformasi monarki, kata Siripan, para demonstran telah "membiarkan munculnya budaya politik baru, mendorong kebebasan berekspresi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kerajaan".
Sejauh ini, pihak berwenang setempat telah menanggapi aksi protes dengan hati-hati. Pihaknya sempat menangkap para pemimpin protes kemudian membebaskannya lagi.
Tidak seperti gerakan protes Thailand sebelumnya, mayoritas demonstran adalah pemuda penghuni kota kelas menengah.
Pihak berwenang mungkin waspada untuk tidak menodai citra internasional Thailand dengan mengulangi insiden pada 2010, ketika mereka bersikap keras terhadap gerakan Red Shirts yang menewaskan 90 orang di jantung kawasan wisata dan perbelanjaan Bangkok.
Namun dalam beberapa hari terakhir, pihak berwenang mulai bersikap keras dengan menggaungkan ancaman pasal 112, yakni undang-undang pencemaran nama baik kerajaan yang terkenal ketat. Pelanggarnya dapat dikenakan hukuman hingga 15 tahun penjara.
Dalam sejarah Thailand, gerakan protes kerap berakhir dengan pertumpahan darah, dua kali pada 1970-an, 1992, dan pada 2010. Para ahli telah memperingatkan insiden kelam tersebut dapat terulang kembali.
(ans/evn)