Presiden Amerika Serikat Donald Trump kini telah berada di ujung masa jabatan. Hanya dalam hitungan jam, masa kepresidenannya akan berakhir pada Rabu (20/1) waktu setempat, menyusul pelantikan presiden terpilih Joe Biden.
Selama menjabat di Gedung Putih, Trump dikenal sebagai salah satu pemimpin dunia yang sarat dengan kontroversi.
Empat tahun lalu, ketika memenangkan pemilihan presiden 2016, Trump mencetuskan janji yang mengejutkan dalam pidato pengukuhannya, yakni ia akan mengakhiri "pembantaian di Amerika".
Tapi di pengujung kekuasaannya, justru dirinyalah orang yang meninggalkan pembantaian itu sendiri.
Sejak kekalahannya dalam Pilpres 2020, Trump kerap menyebut kontestasi politik tersebut curang dan menolak mengakui kekalahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia bahkan belum sekali pun mengucapkan selamat kepada Biden. Hal ini kontras dengan Wakil Presiden Mike Pence, di mana ia telah bertemu dan berbincang dengan Wapres terpilih Kamala Harris.
Kemudian dua pekan sebelum masa jabatan Trump habis, massa pendukung Trump menyerbu Gedung Kongres Capitol Hill di Washington DC pada Rabu (6/1).
Massa yang marah merangsek masuk untuk menggagalkan pengesahan kemenangan Biden. Akibatnya, lima orang tewas dalam kerusuhan tersebut.
Meski sempat bentrok, namun kejadian itu tak menggagalkan pengesahan dan Pence tetap mengumumkan pengesahan kemenangan Biden di hari itu juga.
Imbas dari kerusuhan tersebut justru Trump harus rela akun Twitter pribadinya ditangguhkan karena diduga menghasut kerusuhan.
Sebelum raksasa media sosial itu menutup akunnya, Trump mencuit bahwa ia tidak akan menghadiri inaugurasi Biden.
Trump juga menjadi presiden AS dengan satu kali masa jabatan yang telah dimakzulkan dua kali.
Sempat diremehkan
Pada 2016 silam, banyak orang AS menertawakan Trump karena keinginannya untuk melenggang di Gedung Putih.
Namun semua itu berubah ketika Trump mengalahkan Hillary Clinton, yang pada saat itu hampir dipastikan akan menang.
Selama empat tahun masa jabatannya, Trump mengubah aliansi AS menjadi hubungan bisnis yang tajam. Mitra yang bersahabat dengan AS seperti Korea Selatan, Jerman, dan Kanada ia tuduh mencoba menipu Amerika.
Sebaliknya, musuh dan saingan AS seperti Korea Utara dan China justru diundang untuk bernegosiasi dalam inisiatif diplomatik yang inovatif.
Kontroversi lain dari diri Trump adalah ia berkontribusi mendorong digaungkannya teori konspirasi, salah satunya yakni ia menyebut Barack Obama tidak sah sebagai presiden karena tidak lahir di AS. Sementara bagi banyak orang, Trump dipandang sebagai pribadi yang rasis.
Narasi rasis Trump kian santer terdengar pada 2020 lalu ketika AS dilanda insiden penembakan orang-orang kulit hitam di tangan polisi kulit putih.
Sisi kontroversial Trump tentu tak dapat dipisahkan dari bagaimana ia meremehkan pandemi virus corona yang telah menginfeksi AS sejak awal tahun lalu.
Ketika virus itu muncul, Trump bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Meski infeksi terus menyebar, Trump kerap melontarkan klaim-klaim yang menyesatkan seputar virus tersebut. Ia juga menyalahkan media karena dianggap terus-menerus menebar berita palsu tentang Covid-19.
Selain itu, ia kembali melontarkan kata-kata rasis seperti menyebut Covid-19 sebagai "virus China".
Bahkan, ia tidak mengindahkan saran para pakar kesehatan AS terkait pentingnya memakai masker. Puncaknya, pada awal Oktober 2020, Trump beserta ibu negara Melania didiagnosis mengidap Covid-19 dan harus dirawat di Rumah Sakit Walter Reed selama beberapa hari.
Banyak orang menyebut Trump sebagai presiden "reality show", dan ia tidak menganggapnya sebagai sebuah penghinaan.
Kini pemerintahan Trump akan usai, dan pebisnis sekaligus presiden AS ke-45 itu akan dikenal sebagai salah satu mantan presiden AS yang kontroversial.