Pangkas Belanja, Junta Militer Myanmar Diduga Terjepit Sanksi
Junta militer Myanmar mulai memperketat pengeluaran diduga akibat dampak sanksi yang diberlakukan oleh sejumlah negara usai menggulingkan pemerintahan melalui kudeta.
Seperti dilansir Reuters, Selasa (23/2), Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar (Tatmadaw), Jenderal Min Aung Hlaing, menggelar rapat kabinet pada Senin (22/2) dengan agenda membahas perekonomian. Dalam rapat itu, Min meminta negara memangkas pengeluaran.
Selain itu, dia juga meminta jumlah komoditas impor diturunkan dan meningkatkan ekspor.
"Dewan harus mencurahkan kemampuan untuk meningkatkan perekonomian. Langkah-langkah perbaikan perekonomian harus diambil," kata Min seperti dikutip media massa pemerintah.
Min memang tidak secara langsung menyatakan bahwa aksi protes besar-besaran membuat perekonomian Myanmar terpuruk. Namun, perekonomian Myanmar, terutama sektor pariwisata, cukup terpukul akibat pembatasan di masa pandemi virus corona.
Selain itu, krisis sosial politik usai kudeta juga membuat resah para pemodal asing.
Min hanya mengatakan aparat keamanan saat ini mengikuti langkah-langkah yang lebih lunak menghadapi pedemo, seperti menggunakan peluru karet.
Dalam unjuk rasa hari ini memang tidak terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan demonstran. Namun pada dua pekan lalu ada tiga pengunjuk rasa yang tewas akibat ditembak dengan peluru tajam.
Sementara itu, Tatmadaw menyatakan seorang polisi tewas akibat luka-luka dalam bentrok dengan demonstran.
Sampai saat ini tercatat Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa yang menjatuhkan sanksi beragam terhadap junta militer Myanmar. Sejumlah lembaga pemerintahan terganggu lantaran banyak pegawai negeri memutuskan ikut berunjuk rasa menentang kudeta.
Min mengkudeta pemerintahan sipil terpilih yang dipimpin Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint pada 1 Februari lalu.
Alasan militer melakukan kudeta adalah menjaga amanat Undang-Undang Dasar 2008 dan sengketa hasil pemilihan umum.
Militer Myanmar lantas menangkap Suu Kyi dan Win Myint, serta sejumlah politikus dari partai berkuasa, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Militer menuduh ada indikasi kecurangan sehingga Partai Liga Nasional untuk Demokrasi memenangi pemilihan umum dan meraih 83 persen kursi di parlemen. Mereka menuduh pada pemilu yang dimenangkan Suu Kyi disebut terdapat setidaknya 8 juta pemilih palsu.
Komisi Pemilihan Umum Myanmar membantah tuduhan kudeta itu.
Min Aung Hlaing mengatakan bakal menggelar pemilihan umum yang jujur dan bebas usai status masa darurat nasional selama satu tahun dinyatakan berakhir.
Saat ini Suu Kyi dijerat dengan dua perkara, yakni kepemilikan dan impor walkie-talkie ilegal serta melanggar UU Penanggulangan Bencana.
Sedangkan Win dituduh melanggar protokol kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana saat berkampanye pada tahun lalu.
Saat ini keduanya menjadi tahanan rumah.
Menurut pantauan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar, Tom Andrews, sekitar dua juta penduduk sipil mengikuti aksi unjuk rasa di sejumlah kota besar di Myanmar sejak Senin lalu. Menurut dia hal itu menandakan masyarakat sudah tidak takut dengan peringatan aparat yang mengancam akan bertindak represif.
"Para jenderal sudah kehilangan kekuatan untuk menekan rakyat. Ini sudah waktunya mereka mundur dan masyarakat Myanmar mulai bangkit," cuit Andrews.
(ayp/ayp)