Kelompok pemberontak di Rakhine, Myanmar, Tentara Arakan (AA), menyatakan siap bergabung untuk melawan kudeta militer.
Padahal, Tentara Arakan dikenal sebagai kelompok teroris di era pemerintahan Aung San Suu Kyi.
Pada Maret tahun lalu, pemerintah Myanmar menetapkan Tentara Arakan sebagai kelompok teroris dan melanggar hukum. Namun status itu dicabut oleh junta militer ketika negara tersebut dilanda kudeta
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, mereka menentang tindakan keras junta militer terhadap demonstran. Sejumlah kelompok bersenjata lain yang terlibat pertempuran di perbatasan juga telah mengisyaratkan dukungan mereka untuk gerakan pro-demokrasi.
Tentara Arakan menegaskan bahwa kelompoknya berdiri bersama rakyat.
"Sangat menyedihkan bahwa orang-orang tidak bersalah ditembak dan dibunuh di Myanmar," kata juru bicara AA Khine Thu Kha dalam sebuah pesan, Selasa (23/3) seperti dikutip dari Reuters.
Tentara Arakan adalah kelompok pemberontak yang sebagian beragama Buddha. Kelompok itu dibentuk oleh orang-orang Arakan, Rakhine di Myanmar.
Tak seperti kelompok pemberontak lain yang menempati wilayah itu, Tentara Arakan bisa dibilang baru, kelompok itu dibentuk sekitar sepuluh tahun lalu.
Visi yang dimiliki kelompok itu yakni bertanggung jawab penuh atas keamanan orang-orang Rakhine.
Menurut The Times of India, kelompok itu masih rentan secara ekonomi meski memiliki akses ke banyak sumber daya alam. Mereka juga terabaikan secara politik.
Semenjak didirikan hingga kini, Tentara Arakan memiliki 7.000 anggota.
"Ini telah meningkatkan dukungan dari kelompok organisasi etnis bersenjata yang memiliki hubungan kuat dengan China," kata seorang Pakar Myanmar.
Myanmar sendiri tak asing dengan kelompok etnis bersenjata. Beberapa kelompok yang lain tentara negara bagian Shan (Partai Kemajuan) dan Tentara Negara Bagian Shan (Dewan Pemulihan), keduanya berbasis di negara bagian Shan yang berbatasan dengan China.
Tentara Negara Bagian Wa Bersatu, juga di Shan, Organisasi Kemerdekaan Kachin yang berpusat di Kachin, dan Serikat Nasional Karen yang berbasis di Kayin, berbatasan dengan Thailand.
Menurut The Diplomat, perebutan kekuasaan di Myanmar menjadi urusan yang kompleks.
Konflik itu melibatkan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang sebelum kudeta memerintah Myanmar dengan sejumlah kelompok etnis bersenjata.
Di antara kelompok itu, Tentara Arakan muncul sebagai kelompok umat Buddha Rakhine yang ingin mendirikan pemerintahan sendiri di tengah krisis Rohingya, ketegangan Aung San Suu Kyi dan pemimpin Rakhine, serta munculnya kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Sejak 2019 tentara Arakan telah terlibat bentrokan dengan militer dan menewaskan puluhan orang serta menyebabkan 140 ribu warga mengungsi.
Dengan adanya insiden itu, pemerintahan Suu Kyi melabeli Tentara Arakan sebagai kelompok teroris dan menargetkan operasi keamanan yang intensif terhadap mereka.
Pemerintah Myanmar menyatakan kelompok etnis bersenjata itu sebagai kelompok teroris dan asosiasi yang melanggar hukum dengan alasan bahwa tindakan Tentara Arakan menimbulkan ancaman bagi publik dan perdamaian serta stabilitas negara yang lebih luas.
Berdasarkan perintah yang ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri Soe Htut, yang juga menjabat sebagai ketua Komite Pusat Kontraterorisme, Tentara Arakan bersama dengan sayap politiknya, Liga Arakan Bersatu (ULA) dan kelompok serta individu terafiliasi lainnya, diumumkan sebagai kelompok teroris dan melanggar hukum berdasarkan Unlawful Associations Act.
Hal itu disebabkan berbagai alasan, termasuk ketakutan dan ancaman terhadap masyarakat lokal, serangan terorganisir terhadap pasukan keamanan Myanmar, dan bahaya bagi hukum dan ketertiban serta perdamaian dan stabilitas.
Meski demikian, sebutan tersebut bukannya tanpa makna. Ini menggambarkan meningkatnya ketergantungan pemerintah Myanmar pada tindakan hukuman karena harapan meredup di bidang lain dan serangan Tentara Arakan terhadap pemerintah terus berlanjut, yang lebih menyelaraskannya dengan preferensi Tatmadaw untuk pendekatan yang berfokus pada militer.
Tiga tahun lalu, pada 22 Desember 2018, tentara Myanmar mengumumkan gencatan senjata selama empat bulan yang mencakup lima wilayah di utara dan timur laut, tetapi kesepakatan itu mengecualikan negara bagian Rakhine.
(isa/dea)