Penguasa terakhir Dinasti Mughal, Bahadur Syah II atau Abu Zafar Sirajuddin Muhammad, diusir dari istana oleh Inggris pada 1858.
Pengusiran itu sekaligus menjadi tanda hancurnya kerajaan Islam terakhir di India.
Sebelum Bahadur Syah II dipaksa angkat kaki dari istana, tanda-tanda kemunduran Dinasti Mughal sudah tercium sejak Sultan Aungzeb tutup usia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemimpin setelah Sultan Aungzeb dianggap lemah dan abai terhadap urusan pemerintahan. Gaya hidup yang mewah oleh para pemimpin juga membuat anggaran kerajaan terus menyusut.
Lihat juga:Dinasti Mughal dan Islam di Tanah Hindustan |
Di dalam tubuh keluarga kerajaan, terjadi perebutan kekuasaan antara anak-anak Bahadur Syah, yang turut membawa kerajaan itu menuju kehancuran.
Perebutan itu dimenangkan oleh Jahandar Syah. Karena ia dianggap lemah, penobatan Jehandar sebagai raja ditentang oleh Muhammad Fahrukhisyar, keponakannya sendiri.
Pertempuran memperebutkan kekuasaan terjadi dan pada 1713, Fakhrusiyar menang. Ia pun menduduki takhta kerajaan hingga 1719.
Nasib hidupnya berakhir tragis, ia dibunuh oleh komplotan Sayyid Husein Ali dan Sayyid Hasan Ali di bawah perintah Muhammad Syah.
Pada 1760, pasukan Ahmad Khan Durrani dari Afghanistan menyerang Dinasti Mughal. Saat itu kepemimpinan sudah beralih ke Alam Syah. Mughal kalah dalam pertempuran tersebut.
Imbas dari kekalahan itu, Mughal menjadi kekuasaan Afghanistan dan Alam Syah hanya diposisikan sebagai sultan untuk memimpin wilayah Delhi.
Pengganti Syah Alam, Akbar II melakukan perjanjian dengan Inggris agar mereka menjamin kehidupan raja dan keluarga istana. Ia lalu memberi konsesi kepada perusahaan dagang Inggris, East India Company (EIC), untuk mengembangkan perdagangan di India.
Menurut Badri Yatim dalam Sejarah Peradaban Islam, perjanjian yang diteken Akbar II sama saja menyerahkan kekuasaan ke tangan Inggris, meskipun kedudukan dan gelar Sultan masih dipertahankan.
Anak Akbar II, Bahadur Syah II, yang tak lain Abu Zafar Sirajuddin Muhammad menentang perjanjian itu. Hal tersebut menyebabkan konflik antara Mughal dengan Inggris.
Sementara itu, di luar istana, terjadi banyak pemberontakan, utamanya oleh pemeluk Hindu. Mereka tak senang orang Muslim yang sebetulnya minoritas di India menjadi penguasa.
Lihat juga:Bagian Bangunan Taj Mahal Rusak karena Badai |
Pemberontakan itu justru dimanfaatkan oleh Inggris untuk memecah belah masyarakat India.
Puncak kekuasaan Inggris diraih pada 1857, ketika kerajaan Mughal benar-benar jatuh dan raja terakhir, Bahadur Syah II, diasingkan ke Burma (Myanmar) pada 1858.
(isa/ayp)