Dubes Israel Beber Lika-liku Perdamaian dengan Palestina
Konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun kembali memanas setelah Tel Aviv terlibat pertempuran 11 hari dengan Hamas, penguasa Jalur Gaza, Mei lalu.
Pertempuran yang dipicu upaya penggusuran keluarga Palestina oleh aparat Israel dan bentrokan di Masjid Al-Aqsa itu menewaskan sekitar 260 warga Gaza, termasuk puluhan anak-anak. Sementara dari sisi Israel, 13 orang tewas, termasuk personel militer.
Meski Israel dan kelompok milisi Palestina di Gaza telah sepakat gencatan senjata, banyak pihak menganggap pertempuran tersebut semakin mengaburkan prospek perdamaian.
Bahkan ketegangan kembali memanas pekan ini setelah Israel dan milis Palestina saling serang, mengabaikan gencatan senjata.
Situasi diperparah dengan parade pawai Yahudi di Yerusalem yang juga memicu bentrokan.
Dalam wawancara khusus virtual beberapa waktu lalu dengan CNN Indonesia, Duta Besar Israel untuk Singapura, Sagi Karni, membeberkan lika liku perdamaian dengan Palestina.
Berikut petikan wawancara tersebut.
Apakah Israel masih mendukung solusi dua negara di mana Israel dan Palestina berdiri sebagai negara merdeka?
Solusi dua negara memang menjadi pilihan kami sejak lama, dimulai sekitar hampir 30 tahun lalu dalam Kesepakatan Oslo.
Kesepakatan Oslo yang pertama diteken September 1993. Tapi, Hamas mengacaukan terobosan positif ini dengan berbagai serangan bom bunuh diri.
Saat itu saya masih tinggal di Yerusalem sehingga masih ingat betul. Ketika Kesepakatan Oslo tengah berlangsung, Hamas melakukan pengeboman di bus-bus, jalanan, Yerusalem, Tel Aviv, dan kota-kota Israel lainnya.
Mereka meledakkan restoran, hotel, dan tempat lainnya dengan tujuan utama yakni membunuh warga Yahudi sebanyak-banyaknya. Ini ideologi mereka, saya berharap warga Indonesia memahami kenapa mereka bisa memiliki ideologi seperti ini.
Meski begitu, kami terus mencoba (berunding) beberapa kali. Mulai dari perjanjian Oslo, Taba Talks pada 2020, Perundingan Camp Davis, dan upaya lainnya sekitar 2005-2006.
Tapi sayangnya, semua proposal damai itu gagal. Perundingan bisa terjadi ketika kedua belah pihak saling sepakat.
Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, yang memediasi perundingan Camp David pada 2000 juga mengatakan itu. Dia berbicara bahwa Yaser Arafat, Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) atau pemimpin resmi otoritas Palestina saat itu, menolak proposal tersebut.
Tapi kami mencoba lagi setelah Intifada pertama di mana ribuan warga Israel menjadi korban terorisme warga Palestina. Kami mencoba memetakan masalah dan mencari jalan keluar tetapi ditolak lagi.
Penolakan Palestina ini sudah berjalan ratusan tahun. Mereka bahkan menolak resolusi Perserikatan Bangsa (PBB) pada 1947 dan menolak proposal kami yang lain.
Sangat sulit meraih kesepakatan ketika salah satu pihak tidak mau berkompromi. Tapi kami masih berkomitmen mencari cara dan solusi, termasuk berkompromi.
Tapi sekarang kita harus realistis. Saat ini, otoritas Palestina tidak mewakili seluruh penduduknya, hanya menguasai setengah wilayah, karena Jalur Gaza dikuasai Hamas.
Apakah Israel harus bernegosiasi dengan otoritas Palestina di Ramallah, yang hanya menguasai setengah penduduknya saja, atau apakah kami harus bernegosiasi dengan Hamas di Gaza yang bahkan tidak mengakui keberadaan Israel?
Ketika Anda berusaha bernegosiasi dengan sebuah negara, Anda pasti ingin tahu apakah pemerintahan negara itu legal dan mengontrol masyarakatnya. Jika kami, katakanlah, menyetujui kesepakatan damai dengan otoritas Palestina di Ramallah. Apakah otoritas Palestina di Ramallah bisa meyakinkan seluruh warganya karena mereka hanya menguasai setengah dari wilayah Palestina.
Jadi ini adalah situasi pelik karena kami harus menghadapi orang-orang yang tidak mau berkompromi.
Seperti apa proses perdamaian yang ideal menurut Israel? Bagaimana peran komunitas internasional?
Jika saya boleh jujur, komunitas internasional selama ini telah banyak berkontribusi. Namun, tetap, pada akhirnya Anda tidak menyepakati perjanjian damai dengan komunitas internasional kan?
Jadi pada akhirnya kami, Israel-Palestina, harus lah yang berdialog karena kita hidup bersebelahan. Banyak dari warga kami berbicara Bahasa Arab, banyak pula warga Palestina yang berbicara Bahasa Ibrani.
Jadi seharusnya kita tidak perlu berdialog di New York atau tempat lainnya di dunia ini. Pada akhirnya Israel dan Palestina harus saling berbicara untuk mencapai kesepakatan di antara kita.
Saat berdialog, Israel dan Palestina juga harus saling percaya kedua belah pihak akan berkomitmen mengimplementasikan kesepakatan jangka panjang.
Israel adalah negara yang sangat kecil jadi sulit menjelaskan kepada warga Indonesia yang merupakan bangsa yang besar. Kami negara kecil, karena itu keamanan merupakan prioritas utama.
Selama ini, kami hidup dengan tetangga yang rusuh dan tidak terlalu ramah. Jadi kami harus memperhitungkan segala risiko dengan hati-hati agar tidak tertipu dan dibohongi.
Mungkin ke depannya, komunitas internasional bisa lebih terlibat memberikan jaminan keamanan kepada Palestina.
Komunitas internasional juga bisa berbicara (membujuk) Palestina dengan mengatakan 'lihatlah! konflik ini telah berlangsung ratusan tahun. Menolak upaya berkompromi tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi warga Palestina.'
Saya pikir, komunitas internasional bisa meyakinkan pihak Palestina untuk melihat masa depan dan lebih baik berkompromi sambil menghentikan penghasutan. Lebih baik berhenti menerapkan doktrin kepada anak-anak di sekolah bahwa Israel tidak memiliki hak untuk hidup dan berada.
Dan di saat bersamaan, Israel dan komunitas internasional perlu membantu membangun perekonomian Palestina. Karena dengan ekonomi yang lebih baik, taraf hidup warganya juga akan lebih baik.