Cerita WNI di Singapura soal Rencana Hidup Bareng Covid-19
Seorang warga Indonesia (WNI) di Singapura, Ainun Najib, menilai rencana visioner pemerintah negara itu yang ingin hidup berdampingan dengan corona dengan menganggap Covid-19 sama seperti penyakit flu biasa sangat masuk akal.
Ainun mengatakan bahwa visi itu masuk akal karena pemerintah Singapura berhasil mengontrol penyebaran virus corona di negaranya sejak awal pandemi.
Selain itu, masyarakat Singapura juga patuh protokol kesehatan sehingga memudahkan pemerintah mengontrol penularan corona.
Menurut pria asal Gresik itu, sejak awal pemerintah Singapura mendahulukan kesehatan masyarakat dengan menerapkan kebijakan pembatasan pergerakan hingga lockdown secara ketat, meski menyadari kebijakan itu akan mengorbankan sebagian ekonomi negara.
Selain itu, Ainun menganggap pemerintah Singapura sudah memiliki strategi jelas, yakni menekan infeksi corona hingga nol kasus atau zero Covid.
"Jadi targetnya bukan biarkan menyebar asal bisa ditangani atau diobati, tapi bagaimana supaya penyebarannya berhenti dan kasusnya bisa nol," kata Ainun kepada CNNIndonesia.com pada Selasa (6/7).
Dengan tujuan jelas, kata Ainun, pemerintah Singapura juga tahu strategi untuk mencapai zero Covid, yakni memperluas pemeriksaan dan pelacakan untuk mendeteksi kasus positif sehingga bisa cepat ditangani.
Ainun memaparkan bahwa pemerintah Singapura sangat detail dan transparan dalam memantau kasus Covid-19. Sejak awal pandemi, katanya, pemerintahan Perdana Menteri Lee Hsien Loong selalu mendata secara rinci setiap kasus baru Covid-19, lengkap dengan sumber pemaparannya.
Data tersebut bisa diakses secara bebas oleh masyarakat melalui situs Kementerian Kesehatan Singapura. Di situs itu, Singapura memberi nomor setiap kasus baru terdeteksi dan kemungkinan keterkaitan dengan klaster atau kasus-kasus Covid-19 yang sudah ada.
"Sejak awal hingga kini selalu transparan. Data-datanya jelas, meskipun sempat kejebolan di asrama padat pekerja migran, tetap disampaikan apa adanya, misal dalam sehari sekian ribu terdeteksi positif dan sebagainya," kata Ainun.
Ainun mengatakan bahwa tingkat tesCovid-19 di Singapura juga sangat cepat dan tinggi. Dengan sistem tes corona yang cepat, kata dia, pelacakan kasus positif pun menjadi lebih mudah terdeteksi sehingga bisa cepat ditangani.
Kondisi itu, tutur Ainun, terlihat dari hampir sebagian besar pasien Covid-19 bisa sembuh. Sejak awal pandemi, Singapura mencatat 62.640 kasus Covid-19 dengan 36 kematian.
"Tes di Singapura sangat cepat dan kapasitasnya tinggi. Indonesia sudah setahun lebih tidak ada peningkatan signifikan. Harusnya 10 kali lipat yang diperlukan," kata Ainun yang juga merupakan pendiri gerakan @KawalCovid-19.
Ia kemudian berkata, "Trace juga sangat kuat. Dari setiap kasus positif, minimal rata-rata yang dilacak itu 30 orang. Ini standar epidemiologi WHO."
Ainun menuturkan bahwa pemerintah Singapura juga memanfaatkan teknologi kode QR dan aplikasi untuk melacak penularan corona. Ia menjelaskan bahwa setiap warga wajib mengunduh aplikasi dan mengaktifkan bluetooth ponselnya.
Sebelum memasuki gedung dan tempat umum, warga Singapura wajib pindai kode QR di tempat-tempat tersebut, sehingga memudahkan pelacakan kontak ketika ada orang yang positif.
"Jadi ketika kita masuk satu gedung lalu ternyata ada dari pengunjung gedung itu yang positif, petugas bisa melacak siapa saja yang kira-kira perlu isolasi dan kemungkinan ikut terpapar," ucap Ainun.
"Setiap aplikasi atau token bluetooth itu mendeteksi token lain dalam jarak dekat. Aplikasi itu akan memberi notifikasi dan saling mencatat siapa saja yang berpapasan dengan siapa pada waktu tertentu. Jadi ketika ada yang positif, pemerintah bisa ambil data dan trace orang-orang yang berdekatan dengan kita selama 14 hari terakhir."