Mengapa Anda tertarik mengulas soal lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia melalui Twitter? Faktor apa yang membuat Anda tertarik dengan Indonesia?
Tidak juga. Sepanjang pandemi ini saya terus mengikuti perkembangan tentang virus. Di manapun terjadi lonjakan kasus, maka saya akan fokus untuk mencoba meringankan beban penderitaan.
Tahun lalu saya rajin mencuit untuk seluruh warga Amerika Serikat, lalu virus itu menyebar ke Pakistan jadi saya mulai fokus mencuit tentang situasi di sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya bahkan pernah mencuit di Twitter dalam bahasa Urdu. Saya mencoba membantu rekan-rekan saya India ketika mereka menghadapi gelombang kedua.
Saya juga mengirim pesan untuk meningkatkan kesadaran penduduk di Nepal. Saya juga mencuit dalam bahasa Spanyol kepada para penduduk di wilayah Amerika Selatan.
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia dan saya melihat terjadi lonjakan kasus sejak Mei hingga Juni, dan hal itu bisa mengarah kepada situasi krisis seperti yang dialami India. Maka dari saya merasa perlu membantu.
Apakah Anda mengetahui kalau cuitan Anda di Twitter sangat populer di kalangan netizen Indonesia di tengah situasi lonjakan kasus Covid-19?
Saya mempunyai ide berbasis interaksi seperti yang saya lihat di Twitter.
Bagaimanapun juga tujuan utama saya sebagai dokter adalah untuk membantu orang lain dan tidak terlalu mengutamakan popularitas. Itu tujuan utama saya.
Bagaimana Anda bisa mengetahui soal mitos-mitos tentang khasiat susu hingga Ivermectin sebagai obat Covid-19, yang saat ini membuat bingung penduduk Indonesia di tengah lonjakan kasus Covid-19?
Saya punya banyak teman dari Indonesia dan sebagian netizen Indonesia mengirimkan pertanyaan soal itu melalui media sosial dan meminta pendapat saya.
Berkaca dari pengalaman Anda sebagai tenaga kesehatan, apa saran Anda untuk pemerintah di negara manapun, tentu dengan mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi, ketika menghadapi lonjakan kasus Covid-19?
Tentu saja para pakar di negara Anda lebih bisa memberi panduan bagi pemerintah. Namun, dalam 18 bulan terakhir saya mendapatkan beberapa pelajaran yang sepertinya bisa diterapkan secara universal di negara manapun.
Pertama komunikasi harus jelas dan konsisten supaya rakyat tidak mudah percaya dengan informasi yang simpang siur. Ini adalah perangkat yang paling murah dan efektif dalam memerangi pandemi.
Bentuk komunikasi itu seharusnya dipimpin oleh para pakar kesehatan yang tidak punya kaitan terhadap sebuah kekuatan politik.
Kedua, pemerintah perlu menerapkan aturan untuk mencegah penyakit seperti mewajibkan penggunaan masker dan membatasi pertemuan di dalam ruangan. Di saat itu pemerintah juga bisa menerapkan pembatasan.
Ketiga meningkatkan kemampuan dan kapasitas rumah sakit untuk mengobati pasien dengan layak.
Terakhir adalah pemberian vaksin bagi semua orang dan menyampaikan pentingnya vaksinasi supaya orang-orang memahami.