Jakarta, CNN Indonesia --
Kelompok Taliban telah menguasai kembali Afghanistan setelah terusir dari kursi kekuasaan di ibu kota negara, Kabul sejak awal dekade 2000 silam pada pekan ini.
Dalam jumpa pers pada Selasa (17/8) lalu, Juru Bicara Taliban Zabihullah Mujahid menyatakan pemerintahan baru akan berbeda dari masa kepemimpinan kelompok itu pada tahun 1996-2001, yang terkenal dengan rajam dan pembatasan super ketat terhadap perempuan. Taliban juga disebut berusaha menunjukkan sikap menahan diri dan lebih moderat.
Bahkan, seperti dilansir Reuters yang mengutip BBC, Kepala Staf Pertahanan Inggris Nick Carter sampai menduga memang Taliban yang saat ini telah menguasai Kabul berbeda dengan yang mereka yang berkuasa pada dekade 1990an silam. Ia merujuk pada pernyataan Taliban hingga penguasaan Kabul dan Istana Kepresidenan tanpa pertumpahan darah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip dari CNN, kelompok Taliban saat ini dipimpin ulama senior Mawlawi Haibatullah Akhundzada. Ia disebut menjadi pemimpin Taliban pada 2016 silam setelah pemimpin sebelumnya, Mullah Akhtar Mohammad Mansour tewas karena serangan udara Amerika Serikat (AS) di Pakistan.
Pada 2001 silam Akhudzada sempat melarikan diri ke Pakistan dan mengajar di sana sebelum bergabung lagi dengan Taliban di bawah Mansour.
Mengutip dari Washington Post, Akhundzada tak memiliki banyak pengalaman di bidang militer. Oleh karena itu sebagai pemimpin de facto, dia dibantu sejumlah wakil untuk mengalang dana, terutama menyatukan faksi-faksi dan mengonsolidasikan kekuatan.
Setelah 2001, Taliban diketahui sudah terpecah dalam beberapa tahun terakhir. Mereka terdiri dari kelompok yang memimpin medan perang dan pemimpin politik yang terlibat dalam pembicaraan damai di Doha, Qatar.
"Taliban memiliki beberapa divisi, dan kemudian mereka punya beberapa keretakan, tapi mereka beroperasi sebagai gerakan bersama," kata seorang sejarawan dan penulis buku The American War in Afghanistan: A History, Carter Malkasian, dikutip dari NPR.
 Foto pemimpin de facto Taliban, Mawlawi Hibatullah Akhudzada, yang tak diketahui tanggal pemotretannya. (AP/Afghan Islamic Press) |
Dalam tugasnya, Akhundzada disebut dibantu tiga wakil yakni Mullah Abdul Ghani Baradar, Mullah Muhammad Yakub, dan Surajuddin Haqqani.
Baradar adalah salah satu pendiri Taliban yang bebas pada 2018 silam setelah ditangkap di Karachi, Pakistan. Baradar yang memimpin grup komite politik Taliban itu bahkan menjadi utusan Akhundzada untuk bertemu Menteri Luar Negeri China Wang Yi beberapa waktu silam.
Baradar juga yang maju sebagai ujung tombak pembicaraan damai yang sempat digelar di Doha, Qatar. Disebutkan pembebasan Baradar pada 2018 lalu karena permintaan AS agar bisa memulai pembicaraan perdamaian. Dia juga menjadi sosok Taliban pertama yang berbicara dengan Presiden AS, yakni Donald Trump pada 2020 silam.
Dan, Baradar pula yang mengumumkan ke dunia pada Minggu lalu ketika mereka berhasil menduduki istana kepresidenan, dan Presiden Ashraf Ghani kabur keluar negeri.
 Mullah Abdul Ghani Baradar. (Alexander Zemlianichenko/Pool via REUTERS/File Photo) |
Wakil pemimpin Taliban selanjutnya adalah Sirajuddin Haqqani. Dia memimpin jaringan Haqqani, sebuah kelompok yang masuk dalam daftar teroris versi AS.
Sirajuddin disebut terlibat dalam sejumlah aksi teror serangan di Afghanistan sebelum penggulingan kekuasaan Ashraf Ghani akhir pekan lalu. Dia pun disebut-sebut sebagai faksi yang menolak perundingan damai difasilitasi AS sebelumnya.
Wakil lainnya adalah putra dari pemimpin pertama Taliban Mullah Muhammad Umar, Mohammad Yaqoob juga memiliki peran penting di kelompok itu.
Yaqoob disebut sebagai panglima milisi Taliban. Ia dilaporkan telah memimpin operasi militer Taliban setidaknya sejak pertengahan 2020.
Namun, secara keseluruhan struktur organisasi Taliban masih buram. Saat konferensi pers pada Selasa lalu, Mujahid menolak menjawab sejumlah pertanyaan tersebut. Dia hanya menyatakan Taliban akan segera menyusun dan mengumumkan pemerintahan Afghanistan yang baru.
[Gambas:Video CNN]
Halaman selanjutnya soal gerakan Taliban di masa lalu dan kemungkinan kebijakan di masa kini.
Dari berbagai literatur diketahui bahwa Taliban muncul mulanya pada 1994 silam oleh Mullah Muhammad Umar (tewas pada 2013), Mullah Abdul Ghani Baradar, Hibatullah Akhundzadah, Akhtar Muhammad Mansur (tewas pada 2016), dan Muhammad Rasul.
Pada 1996, Taliban berhasil merebut Kabul dan berkuasa di negara tersebut hingga invasi Amerika Serikat (AS) pada 2001 silam. Selama berkuasa, Taliban kala itu memberlakukan sistem ultrakonservatif dengan memaksa interpretasi hukum Islam versinya di negara itu.
Aturan itu di antaranya perempuan harus mengenakan jilbab atau penutup kepala hingga ujung kaki, perempuan tak diizinkan bersekolah, bekerja dan dilarang bepergian sendiri. Menonton TV, mendengar musik nonkeagamaan pun dilarang.
Aturan tersebut diterapkan dengan tujuan menghilangkan pengaruh asing.
Taliban kemudian berubah dipandang dunia sebagai bagian dari 'jaringan teroris' pascateror 11 September 2001 yang menyasar World Trade Center (WTC) dan markas Kemenhan AS atau Pentagon). Jaringan yang dipandang paling bertanggung jawab sebetulnya Al Qaeda yang dipimpin Osama bin Laden. Osama sendiri mendapatkan perlindungan di wilayah yang dikuasai Taliban di Afghanistan.
Dan, sejak itulah, AS pun menerjunkan pasukan bersama sekutunya ke Afghanistan. Hingga akhirnya, Afghanistan menjadi perang paling lama yang pernah dilalui AS sepanjang sejarah.
Tailban sendiri berhasil disingkirkan dari Kabul pada awal dekade 2000 silam, namun jaringannya masih bercokol di sana sehingga membuat AS tetap beroperasi di negara tersebut seraya memburu pemimpin Al Qaeda.
Setelah upaya perdamaian yang coba digalang hingga masa kepresidenan AS di bawah Donald Trump, Negara Paman Sam akhirnya menarik pasukannya dari Afghanistan tahun ini di bawah kepresidenan Joe Biden.
[Gambas:Photo CNN]
Serangan Balik Taliban
Ketika pasukan AS dan sekutunya ditarik dari Afghanistan, militan Taliban kembali mencoba membangkitkan kekuasaannya dengan merebut kota-kota, dari wilayah pinggir hingga akhirnya ibu kota negara, Kabul, dan menguasai Istana Kepresidenan.
Padahal selama dua dekade terakhir, AS menghabiskan lebih dari satu triliun dolar di Afghanistan. Dana itu digunakan untuk melatih tentara dan polisi Afghanistan serta memberi mereka peralatan modern.
Para pejabat Amerika Serikat pun telah menyatakan kekecewaannya atas ketidakmampuan pemerintah Afghanistan yang sekarang didukung AS untuk melindungi kota-kota dan wilayah-wilayah utama dari Taliban.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin berkata mengatakan kurangnya perlawanan yang dihadapi Taliban dari pasukan Afghanistan sangat membingungkan.
"Mereka memiliki semua keuntungan, mereka memiliki 20 tahun pelatihan oleh pasukan koalisi kami, angkatan udara modern, peralatan dan senjata yang bagus," jelasnya.
Austin juga tak menyangka hal tersebut bisa terjadi.
"Tapi Anda tidak bisa membeli kemauan dan Anda tidak bisa membeli kepemimpinan. Dan itulah yang benar-benar hilang dalam situasi ini," ucapnya.
[Gambas:Video CNN]
Narasi Wajah Baru Taliban
Taliban kini telah menguasai Afghanistan. Namun mereka harus berusaha untuk menampilkan diri dengan wajah baru yang berbeda dari masa lalu.
Kelompok itu telah mengklaim berkomitmen pada proses perdamaian, pemerintahan yang inklusif, dan bersedia mempertahankan sejumlah hak perempuan.
Tetapi sampai sekarang belum ada rincian yang jelas mengenai struktur pemerintahan baru di Afghanistan di bawah kendali Taliban. Mereka mengaku akan memberikan amnesti bagi pejabat yang terlibat di pemerintahan sebelumnya, dan ingin bergabung dengan pemerintahan kelompok itu.
Seperti dilansir CNN, Juru bicara Taliban, Suhail Shaheen mengatakan perempuan masih akan diizinkan untuk melanjutkan pendidikan mereka dari sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Pernyatan itu merupakan sebuah terobosan dari kebijakan yang konservatif selama pemerintahan Taliban di tahun 1996-2001.
Shaheen juga mengatakan diplomat, jurnalis, dan organisasi nirlaba dapat terus beroperasi di Afghanistan.
"Itulah komitmen kami, untuk memberikan lingkungan yang aman dan mereka dapat melakukan aktivitasnya untuk rakyat Afghanistan," ujarnya.
Namun demikian, banyak pengamat yang khawatir bahwa sekembalinya Taliban di kursi kekuasaan sama dengan kembalinya Afghanistan dua dekade lalu, dimana hak-hak perempuan sangat dibatasi.
Dan itu terlihat pada hari-hari awal setelah Taliban merebut Kabul, di mana banyak perempuan Afghanistan masih ketakutan.
Fawzia Koofi salah satu politikus perempuan yang juga menjadi salah satu negosiator pemerintahan Ghani dalam perundingan damai dengan Taliban beberapa waktu lalu mengatakan menjanjikan perubahan saja belum cukup.
"Mereka [Taliban] benar-benar harus membuktikannya di seluruh provinsi di Afghanistan. Mereka harus menunjukkan contohnya. Membuat pernyataan memang mudah tapi rakyat butuh aksi nyatanya," kata ibu dari dua putri tersebut.
"Saya mengkhawatirkan putri-putri saya dan semua anak perempuan di Afghanistan. Saya tidk mau sejarah kejam terulang pada mereka," imbuhnya.
Koofi punya alasan untuk khawatir, karena tahun lalu dia menjadi korban tembakan orang tak dikenal diduga oleh kelompok Taliban. Namun, Taliban kala itu menyanggah mereka terlibat dalam penembakan--yang beruntungnya tidak menewaskan Koofi.