Dari berbagai literatur diketahui bahwa Taliban muncul mulanya pada 1994 silam oleh Mullah Muhammad Umar (tewas pada 2013), Mullah Abdul Ghani Baradar, Hibatullah Akhundzadah, Akhtar Muhammad Mansur (tewas pada 2016), dan Muhammad Rasul.
Pada 1996, Taliban berhasil merebut Kabul dan berkuasa di negara tersebut hingga invasi Amerika Serikat (AS) pada 2001 silam. Selama berkuasa, Taliban kala itu memberlakukan sistem ultrakonservatif dengan memaksa interpretasi hukum Islam versinya di negara itu.
Aturan itu di antaranya perempuan harus mengenakan jilbab atau penutup kepala hingga ujung kaki, perempuan tak diizinkan bersekolah, bekerja dan dilarang bepergian sendiri. Menonton TV, mendengar musik nonkeagamaan pun dilarang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aturan tersebut diterapkan dengan tujuan menghilangkan pengaruh asing.
Taliban kemudian berubah dipandang dunia sebagai bagian dari 'jaringan teroris' pascateror 11 September 2001 yang menyasar World Trade Center (WTC) dan markas Kemenhan AS atau Pentagon). Jaringan yang dipandang paling bertanggung jawab sebetulnya Al Qaeda yang dipimpin Osama bin Laden. Osama sendiri mendapatkan perlindungan di wilayah yang dikuasai Taliban di Afghanistan.
Dan, sejak itulah, AS pun menerjunkan pasukan bersama sekutunya ke Afghanistan. Hingga akhirnya, Afghanistan menjadi perang paling lama yang pernah dilalui AS sepanjang sejarah.
Tailban sendiri berhasil disingkirkan dari Kabul pada awal dekade 2000 silam, namun jaringannya masih bercokol di sana sehingga membuat AS tetap beroperasi di negara tersebut seraya memburu pemimpin Al Qaeda.
Setelah upaya perdamaian yang coba digalang hingga masa kepresidenan AS di bawah Donald Trump, Negara Paman Sam akhirnya menarik pasukannya dari Afghanistan tahun ini di bawah kepresidenan Joe Biden.
Ketika pasukan AS dan sekutunya ditarik dari Afghanistan, militan Taliban kembali mencoba membangkitkan kekuasaannya dengan merebut kota-kota, dari wilayah pinggir hingga akhirnya ibu kota negara, Kabul, dan menguasai Istana Kepresidenan.
Padahal selama dua dekade terakhir, AS menghabiskan lebih dari satu triliun dolar di Afghanistan. Dana itu digunakan untuk melatih tentara dan polisi Afghanistan serta memberi mereka peralatan modern.
Para pejabat Amerika Serikat pun telah menyatakan kekecewaannya atas ketidakmampuan pemerintah Afghanistan yang sekarang didukung AS untuk melindungi kota-kota dan wilayah-wilayah utama dari Taliban.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin berkata mengatakan kurangnya perlawanan yang dihadapi Taliban dari pasukan Afghanistan sangat membingungkan.
"Mereka memiliki semua keuntungan, mereka memiliki 20 tahun pelatihan oleh pasukan koalisi kami, angkatan udara modern, peralatan dan senjata yang bagus," jelasnya.
Austin juga tak menyangka hal tersebut bisa terjadi.
"Tapi Anda tidak bisa membeli kemauan dan Anda tidak bisa membeli kepemimpinan. Dan itulah yang benar-benar hilang dalam situasi ini," ucapnya.
Taliban kini telah menguasai Afghanistan. Namun mereka harus berusaha untuk menampilkan diri dengan wajah baru yang berbeda dari masa lalu.
Kelompok itu telah mengklaim berkomitmen pada proses perdamaian, pemerintahan yang inklusif, dan bersedia mempertahankan sejumlah hak perempuan.
Tetapi sampai sekarang belum ada rincian yang jelas mengenai struktur pemerintahan baru di Afghanistan di bawah kendali Taliban. Mereka mengaku akan memberikan amnesti bagi pejabat yang terlibat di pemerintahan sebelumnya, dan ingin bergabung dengan pemerintahan kelompok itu.
Seperti dilansir CNN, Juru bicara Taliban, Suhail Shaheen mengatakan perempuan masih akan diizinkan untuk melanjutkan pendidikan mereka dari sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Pernyatan itu merupakan sebuah terobosan dari kebijakan yang konservatif selama pemerintahan Taliban di tahun 1996-2001.
Shaheen juga mengatakan diplomat, jurnalis, dan organisasi nirlaba dapat terus beroperasi di Afghanistan.
"Itulah komitmen kami, untuk memberikan lingkungan yang aman dan mereka dapat melakukan aktivitasnya untuk rakyat Afghanistan," ujarnya.
Namun demikian, banyak pengamat yang khawatir bahwa sekembalinya Taliban di kursi kekuasaan sama dengan kembalinya Afghanistan dua dekade lalu, dimana hak-hak perempuan sangat dibatasi.
Dan itu terlihat pada hari-hari awal setelah Taliban merebut Kabul, di mana banyak perempuan Afghanistan masih ketakutan.
Fawzia Koofi salah satu politikus perempuan yang juga menjadi salah satu negosiator pemerintahan Ghani dalam perundingan damai dengan Taliban beberapa waktu lalu mengatakan menjanjikan perubahan saja belum cukup.
"Mereka [Taliban] benar-benar harus membuktikannya di seluruh provinsi di Afghanistan. Mereka harus menunjukkan contohnya. Membuat pernyataan memang mudah tapi rakyat butuh aksi nyatanya," kata ibu dari dua putri tersebut.
"Saya mengkhawatirkan putri-putri saya dan semua anak perempuan di Afghanistan. Saya tidk mau sejarah kejam terulang pada mereka," imbuhnya.
Koofi punya alasan untuk khawatir, karena tahun lalu dia menjadi korban tembakan orang tak dikenal diduga oleh kelompok Taliban. Namun, Taliban kala itu menyanggah mereka terlibat dalam penembakan--yang beruntungnya tidak menewaskan Koofi.