Kematian Akibat Covid-19 di AS Lampaui Flu Spanyol

CNN Indonesia
Selasa, 21 Sep 2021 13:14 WIB
Epidemiolog menyebut Covid-19 membunuh lebih banyak warga Amerika Serikat (AS) dibandingkan flu Spanyol 1918.
Foto iliustrasi bendera AS dan Patung Liberty. (Drew Angerer/Getty Images/AFP)
Jakarta, CNN Indonesia --

Epidemiolog menyebut Covid-19 membunuh lebih banyak warga Amerika Serikat (AS) dibandingkan flu Spanyol 1918.

Universitas Johns Hopkins memaparkan bahwa lebih dari 675.000 warga AS meninggal akibat Covid-19. Angka ini melebihi perkiraan korban flu Spanyol 1918 di negara itu.

"Jika Anda berbicara dengan saya pada 2019, saya akan mengatakan bahwa saya terkejut," kata Ahli Epidemiologi Stephen Kissler dari Harvard T.H. Chan School of Public Health seperti dikutip dari CNN.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tetapi jika Anda berbicara dengan saya pada April atau Mei 2020, saya akan mengatakan tidak akan terkejut kami mencapai titik ini."

"Banyak kesalahan yang pasti kami lakukan pada tahun 1918, kami berharap kami tidak akan jatuh pada 2020. Kita telah jatuh," kata Kissler.

Walaupun jumlah kematian akibat Covid-19 lebih tinggi, Kissler menilai pandemi 1918 masih membunuh lebih banyak masyarakat Amerika. Penyebabnya, populasi AS saat ini lebih tinggi tiga kali lipat dibandingkan pada 1918.

Kissler menyampaikan, banyaknya warga AS yang meninggal akibat pandemi 1918 terjadi salah satunya karena tidak tersedianya vaksin di kala itu.

Sedangkan saat ini, vaksin Covid 19 tersedia di berbagai penjuru. Namun, jutaan orang Amerika yang memenuhi syarat belum divaksinasi.

Di Amerika Serikat, vaksin Covid-19 mulai diluncurkan pada kelompok-kelompok tertentu di pertengahan Desember 2020. Pada saat itu, lebih dari 298.000 warga AS sudah meninggal karena Covid-19, bersumber dari data Johns Hopkins.

Selain itu, data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) melaporkan, 36 persen masyarakat AS berusia 12 tahun ke atas belum sepenuhnya divaksin, walaupun varian Delta melonjak.

Kissler juga mengatakan penyebaran misinformasi juga meningkatkan jumlah kematian di AS akibat pandemi.

"Internet bisa menjadi pedang bermata dua," tutur Kissler.

"Ini memberi kami kesempatan untuk menerima (pembaruan informasi) CDC dan Organisasi Kesehatan Dunia dan berbagi informasi lebih cepat. Namun, itu juga berarti kami bisa menyebarkan informasi yang salah dengan cepat."

Tak hanya itu, Kissler juga mengungkapkan ancaman penyebaran Covid-19 lebih lama terjadi meski pandemi telah selesai.

Sementara CDC menyebut pandemi 1918 terjadi dalam tiga gelombang, dari musim semi 1918 hingga musim panas 1919, virus terus bersirkulasi secara musiman selama 38 tahun.

Kissler pun memercayai SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19, mungkin dapat bertahan selama bertahun-tahun, bahkan jika pandemi berakhir.

"Kita akan mendapatkan varian baru," termasuk beberapa yang mungkin menyebabkan infeksi ulang, prediksi Kissler.

Namun, ia menilai varian baru ini tak akan menyebabkan penyakit parah seperti awal Covid-19 melanda.

"Saya pikir varian-varian itu akan cukup terkait erat, mungkin, dengan hal-hal yang telah kita vaksinasi atau hal-hal yang telah kita terima sehingga tidak akan menyebabkan jenis penyakit parah yang sama," tutur Kissler.



(pwn/bac)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER