Selain soal deforestasi, Iqbal juga menyinggung pernyataan Jokowi soal rencana Indonesia beralih dari sektor energi tradisional ke energi baru terbarukan.
Dalam pidatonya, Jokowi memamerkan Indonesia tengah mulai membangun ekosistem mobil listrik, pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, hingga pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk bio fuel.
Indonesia, kata Jokowi, juga tengah berfokus pada pengembangan industri berbasis clean energi, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia yang berada di Kalimantan Utara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Iqbal, kutipan pidato Jokowi itu justru menandakan bahwa Indonesia tidak akan beralih dari industri ekonomi ekstraktif yang berbasis lahan dan bahan bakar fosil.
"Ketika Jokowi bilang solusinya (energi baru terbarukan) adalah bio-fuel. Itu keliru ya. Jika kita hendak mencapai target bio-fuel itu berarti tetap dibutuhkan 9 juta hektare perkebunan sawit baru di indonesia," ucap Iqbal.
Sementara itu, perkebunan sawit kental dengan pembukaan lahan baru yang merusak perhutanan Indonesia.
Iqbal juga menyoroti pernyataan Jokowi soal pembangkit listrik ramah lingkungan. Klaim Jokowi itu bersebrangan dengan rencana Kementerian ESDM dan PLN yang tetap akan membangun 13,8 giga watt pembangkit listrik tenaga batu bara.
Kritik serupa juga dilontarkan Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup (WALHI).
Menurut Yuyun tidak ada hal baru yang diutarakan Jokowi dalam pidatonya di KTT COP26.
"Tidak ada sesuatu yang baru dalam pidato itu. Kita sering kali mendengar Jokowi menyampaikan klaim-klaim itu. Bahkan di forum G20 juga sama," kata Yuyun.
Sama seperti Iqbal, Yuyun juga menyinggung janji Jokowi yang menyebutkan bahwa Indonesia tengah membangun ekosistem mobil listrik sebagai salah satu jurus negara beralih dari energi kotor ke energi baru terbarukan yang ramah lingkungan.
Namun, rencana itu kata Yuyun justru berpotensi menimbulkan masalah lingkungan baru jika tidak benar-benar dirumuskan proses transisinya.
Sebab, menurutnya, membangun ekosistem mobil listrik berbasis baterai memerlukan bahan dasar baru seperti nikel dan lithium untuk baterai.
Sementara itu, nikel dan lithium lagi-lagi berasal dari komoditas pertambangan.
"Ekosistem mobil listrik ini juga salah satu hal yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan parah terutama di negara yang memiliki cadangan penting industri transportasi berbasis baterai," kata Yuyun.
"Sulawesi dan Papua lagi-lagi terancam jadi ladang penghancuran lingkungan baru karena di wilayah itu terdapat cadangan nikel jika kemudian pembangunan ekosistem mobil listrik ini tidak diterapkan dengan konsep transisi yang hati-hati dan betul," paparnya menambahkan.