Singapura menunda eksekusi mati pria disabilitas. Penundaan dilakukan Pengadilan Tinggi Singapura terkait banding terpidana yang dijadwalkan Selasa (9/11) ini.
Pada Senin (8/11), Pengadilan Tinggi Singapura mempertimbangkan banding atas hukuman mati pria disabilitas mental Nagaenthran K. Dharmalingam. Ia divonis hukuman mati karena kasus narkoba.
Banding dilakukan setelah kelompok pemerhati hak asasi manusia mendesak Singapura agar membatalkan hukuman itu atas dalih pria 33 tahun tersebut mengidap disabilitas mental.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepastian mengenai penundaan eksekusi mati oleh Pengadilan Tinggi disampaikan juga oleh pengacara terpidana mati, M Ravi, melalui akun Facebook. Sang pengacara pun menyebut ada secercah harapan bagi kliennya bebas dari hukuman mati.
Pengadilan menolak permohonan pengacara yang menyatakan eksekusi tersebut tidak konstitusional, namun memberikan penundaan atas eksekusi sampai banding atas keputusan pengadilan dapat didengarkan.
Aktivis anti-hukuman mati Kirsten Han menyatakan jika Pengadilan Banding menolak juga, masa penundaan akan dicabut.
Han kemudian mengatakan bahwa keluarga Dharmalingam sendiri mengaku lega dengan penundaan eksekusi mati yang sedianya dilaksanakan pekan depan.
"Tapi mereka (keluarga) menyadari bahwa banding bisa berlangsung singkat. Kami tidak tahu berapa lama masa tunda ini bakal berlangsung. Mungkin bukan waktu yang lama," tutur Han.
"Dengan demikian, mereka siap secara mental. Namun dalam kasus ini, harapan sekecil apapun amat penting."
Ia juga dinyatakan mengidap hiperaktif akut dan ketagihan minuman keras. Semua masalah ini disebut dapat berdampak pada cara Dharmalingam mengambil keputusan dan mengendalikan emosinya.
Dharmalingam sendiri ditangkap pada April 2009 lalu, saat ia masih berusia 21 tahun. Saat itu, ia ditangkap karena berupaya menyelundupkan nyaris 43 gram heroin ke Singapura. Heroin itu diikatkan di paha kirinya.
Pengadilan Singapura menjatuhkan hukuman mati pada November 2010. Setelah itu, tim Dharmalingam terus menempuh berbagai jalur hukum untuk mengurangi vonisnya, tapi tak pernah berhasil.