Salah satu tanda yang memperjelas kemungkinan invasi China ke Taiwan kecil juga justru datang dari mulut Presiden China Xi Jinping sendiri.
Dalam pidatonya pada 9 Oktober lalu, Xi mengungkapkan keinginannya untuk bersatu dengan Taiwan secara damai. Hal ini menyiratkan bahwa dia siap menunggu pulau itu secara sukarela mematuhi instruksinya.
"Saat saya menilai apa yang dibilang Xi soal Taiwan, saya terkejut karena minimnya urgensi," kata Glaser.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pengamat dari Universitas Nasional Australia, Wen Ti Sung, Partai Komunis China juga memiliki prioritas utama di tahun mendatang, yang justru akan memperumit rencana Beijing menginvasi Taiwan. Agenda seperti Olimpiade Musim Dingin Februari 2022, tentu akan membuat sibuk pemerintah.
Para ahli juga telah lama mengatakan setiap upaya paksa yang dilakukan Beijing terhadap Taiwan akan menelan biaya yang sangat mahal, dengan hasil yang tidak pasti.
Pengamat dari Institut Global Taiwan, J Michael Cole, mengatakan tindakan-tindakan China terhadap Taiwan justru menandakan bahwa Xi Jinping khawatir.
Para ahli lainnya juga menganggap semua tekanan diplomatik, ekonomi, hingga militer China terhadap Taiwan mungkin dapat berujung bumerang bagi China.
Hal tersbut bahkan bisa merusak tujuannya untuk menyatukan kembali Taiwan dengan China secara damai.
Direktur Program Asia di German Marshal Fund Amerika Serikat, Bonnie Glaser, menganggap provokasi militer China terhadap Taiwan yang terus meningkat mencerminkan simbol frustrasi Beijing, alih-alih tanda awal kemungkinan invasi.
Meski begitu, Glaser memperingatkan provokasi China itu juga menjadi pengingat bagi Taiwan dan Amerika Serikat agar tidak melewati batas.
Sebab, AS kerap membuat China geram terkait hubungannya dengan Taiwan.
Washington pernah mengajukan Taiwan agar menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan siap membantu pulau itu jika diserang China.
Beijing pun geram, mereka menilai negara lain tak perlu turut mencampuri urusan internal termasuk memberi sinyal buruk dengan mendukung Taiwan.
Glaser mengatakan eskalasi militer China dapat terjadi jika batas-batas itu dilanggar Taiwan dan AS.
"China ingin menahan Taiwan dan menggunakan lebih banyak tekanan terhadap Taiwan. Mereka ingin mengintimidasi Taiwan," papar Glaser.
Terlepas dari jerih payah China menjinakkan Taiwan selama ini, Taipei saat ini terus mendapat dukungan internasional, terutama AS dan sekutunya. Pengaruh Taiwan di kancah global juga terus menjadi perhitungan dunia internasional.
Pencapaian Taiwan ini juga tidak lepas dari relasi dengan AS yang semakin erat. Peneliti senior lembaga think-thank Global Insitute Taiwan, J Michael Cole, mengatakan ketegangan AS-China juga tak luput membantu Taiwan menggenjot citra dan pengaruhnya di kancah internasional.
Beberapa negara lain di Asia juga terus mendukung hak kemerdekaan Taiwan secara terbuka maupun implisit. Sebagai contoh, Menteri Pertahanan Jepang Nobuo Kishi menuturkan Tokyo akan merespons segala upaya China yang ingin mengambil alih Taiwan secara paksa.
Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne, juga terus menekankan penguatan kerja sama dan hu bungan dengan Taiwan.
Jauh ke Eropa, Lithuania bahkan menjadi negara pertama di kawasan itu yang membuka kantor diplomatik Taiwan.
Sementara itu, para ahli sulit melihat cara apa yang tersisa untuk memperbesar peluang visi penyatuan China dan Taiwan.
Beberapa pihak mengatakan ada kemungkinan Taiwan tidak bisa kembali pada China. Kecuali, ada perubahan besar-besaran sikap Partai Komunis tentang kebebasan sipil atau posisi Taiwan.
Dalam survei pada Juni lalu, dari 4.717 responden di Taiwan sebanyak 25,8 persen ingin wilayah itu merdeka, sementara 10 persen lainnya memilih tetap bersatu dengan China.
Sementara itu, mayoritas masyarakat Taiwan tetap ingin bertahan dengan status quo yang ada sekarang.
(isa/rds)