Para imigran menderita berbagai masalah, mulai dari patah tulang hingga hipotermia, di tengah kericuhan akibat penumpukan pengungsi yang menyebabkan krisis di perbatasan Polandia dan Belarus.
Puluhan ribu imigran dari Timur Tengah, Afghanistan, dan Afrika itu terperangkap di perbatasan akibat konflik geopolitik antara Uni Eropa, Amerika Serikat, dan NATO.
Uni Eropa menuduh Presiden Belarus, Alexander Lukashenko, sengaja memicu krisis imigran agar menciptakan ketidakstabilan di kawasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Blok itu menduga Lukashenko ingin membalas dendam atas sejumlah sanksi yang dijatuhkan Uni Eropa karena pelanggaran hak asasi manusia di Belarus. Lukashenko membantah tuduhan itu dan balik menuduh Eropa dan AS.
Pemerintah Belarus dilaporkan memfasilitasi para migran untuk pergi ke wilayah Uni Eropa. Laporan media lokal menyatakan pihak Belarus memberikan visa kepada pengungsi dan membantu mengangkut mereka ke perbatasan.
Di tengah kisruh ini, para imigran menjadi korban. Salah satu warga Suriah yang mengungsi via Belarus, Youssef Atallah, mengaku dipukuli setelah ditangkap aparat setempat bersama empat orang lainnya.
Akibat pemukulan itu, Atallah mengalami luka di wajah, patah hidung dan tulang, serta memar di bagian rusuk.
"Mereka (pasukan Belarus) membawa kami ke area terlarang. Itu merupakan upaya pertama saya untuk menyeberang ke Polandia," kata Atallah kepada CNN.
Tak hanya itu, Atallah mengatakan otoritas Belarus tidak memberikan pertolongan medis dan berulang kali menyuruh pria itu pergi ke Polandia, bukan ke Minsk.
Sebelum ditemukan otoritas Polandia, Atallah sempat berkelana di hutan selama tiga hari. Kala itu, ia sempat memakan gula yang tertinggal dari pengungsi lain agar bisa bertahan hidup.
Setibanya di Polandia, Atallah kemudian dibawa ke pusat penampungan pengungsi.
"Mereka (pasukan Polandia) memperlakukan kami dengan sangat baik. Mereka membawa saya ke rumah sakit dan pegawai di rumah sakit sangat baik. Dokter rumah sakit itu bahkan memberi saya pakaian," tutur Atallah.
Walaupun demikian, kelompok hak asasi manusia sempat mengkritik respons pemerintah Polandia yang dinilai tak memperlakukan imigran dengan baik.
Border Aid, kelompok sukarelawan pekerja medis Polandia, tidak diizinkan untuk merawat para migran di zona eksklusif yang ditetapkan otoritas setempat.
"Kami mendapatkan panggilan dari zona (pengungsi) dan kami tidak dapat menjawabnya," ujar seorang petugas medis Polandia dari Border Aid, Kaja Filaczynska.
Filaczynska juga menceritakan bahwa kelompoknya tengah mengobati pengungsi di ratusan meter dari zona eksklusif yang ditentukan tadi.
Beberapa pengungsi mengalami hipotermia, dehidrasi, kelaparan, keracunan makan, dan trauma kaki. Beberapa dari mereka merupakan perempuan yang sedang hamil dan anak-anak.
"Beberapa minggu yang lalu, tak terpikirkan bagi saya, sebagai seorang petugas medis profesional, pada abad 21 masih ada perempuan, perempuan yang hamil, dan anak-anak yang berada di tengah hutan di peradaban Barat, dan mereka menderita, bukan karena penyakit parah, tapi karena tidak memiliki air minum dan makanan," katanya.
(pwn/has)