Korut dan Krisis Pangan yang Berulang di Tiga Rezim Kim

CNN Indonesia
Jumat, 19 Nov 2021 14:16 WIB
Krisis pangan dan kelaparan bukan hal baru lagi bagi Korut. Tragedi serupa terjadi di masa kepemimpinan Kim Il-sung, Kim Jong-il, hingga kini Kim Jong-un.
Foto Kim Il-sung dan Kim Jong-il di rapat rakyat Korut. (AFP PHOTO / Ed JONES)

Era Kim Il-sung dan Kim Jong-il

Krisis pangan yang memicu wabah kelaparan di Korut bukan kali pertama terjadi. Krisis pangan pertama kali bahkan pada 1948 ketika Republik Rakyat Demokratis Korea (DPRK)--nama resmi Korut--berdiri, seperti dikutip Historia.

Saat itu, Korut dipimpin Kim Il-sung, kakek Kim Jong-un yang menerapkan kebijakan nasional "Juche" atau berdiri di kaki sendiri. Kim Il-sung saat itu teramat yakin bahwa Korut mampu memproduksi bahan pangan untuk masyarakatnya sendiri.

Bahkan, saat banjir besar melanda sekitar 1984, pemerintah Korut masih sempat mengirim 7.000 ton bantuan bahan pangan ke Korea Selatan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, ternyata kondisi iklim dan tanah Korut saat itu tidak cocok untuk bercocok tanam. Korut pun kemudian mengandalkan bantuan makanan dan bahan bakar yang murah dari Uni Soviet.

Namun, bantuan dari Uni Soviet itu tak disebarkan secara merata. Akibat masih dalam kondisi pasca-perang Korea, pemerintah Korut hanya membagi bantuan pangan itu berdasarkan prioritas.

Saat itu, Korut memprioritaskan kalangan militer sehingga memperoleh lebih banyak bantuan pangan ketimbang warga sipil. 

Sementara itu, di medio 1990 hingga awal 2000-an, negara tetangga Korea Selatan ini juga mengalami wabah kelaparan dan krisis pangan.

People bow as they pay their respects before the statues of late North Korean leaders Kim Il Sung and Kim Jong Il as part of celebrations marking the birthday of late North Korean leader Kim Jong Il, known as the 'Day of the Shining Star', on Mansu hill in Pyongyang on February 16, 2019. (Photo by Ed JONES / AFP)Foto: Ed JONES / AFP
Masyarakat Korut memberi penghormatan kepada patung mendiang Kim Il-sung dan Kim Jong-il yang hingga kini masih diagung-agungkan warga. (Photo by Ed JONES / AFP)

Saat itu, wabah kelaparan akut terjadi karena berbagai faktor. Salah urus ekonomi dan keruntuhan Uni Soviet menyebabkan produksi dan impor pangan menurun dengan cepat. Bencana banjir dan kekeringan pun turut memperburuk krisis.

Pemerintah Korut yang saat itu dipimpin Kim Jong-il, ayah Kim Jong-un, menerapkan sistem pemerintahan terpusat yang pada akhirnya terbukti tidak fleksibel dan efektif menangani bencana.

Perkiraan jumlah korban akibat krisis kelaparan akut sangat bervariasi. Dari total populasi Korut saat itu yang dikabarkan berjumlah sekitar 22 juta orang, korban tewas akibat wabah kelaparan mencapai sekitar 240.000 hingga 3,5 juta orang. Angka kematian tertinggi akibat kelaparan dan hal terkait lainnya memuncak pada 1997.

Pada 1995-1996 krisis pangan Korut diperparah akibat banjir bandang di sebagian daerah. Dampak bencana itu, 330 ribu hektar lahan pertanian hancur dan 1,9 juta ton beras atau bahan pangan tak layak dikonsumsi.

Pemerintah Korut pun mengalami kerugian yang ditaksir mencapai US$15 juta dengan kurs di tahun yang sama.

Menanggapi krisis saat itu, Amerika Serikat yang notabene musuh utama Korut, turut memberikan bantuan internasional.

Namun, situasi semakin buruk karena kebijakan yang diambil pemerintah Korut tak merata.

Public Distribution System (PDS), lembaga yang mengatur pangan masyarakat, hanya mampu memenuhi kebutuhan 6 persen untuk penduduk. Sehingga ada 3,5 juta warga mengalami kelaparan dan malnutrisi saat itu.

Saat itu pula pemerintah Korut menerapkan sistem kelas yang disebut songun, yakni suatu sistem politik Korut yang menempatkan militer sebagai prioritas.

Namun, kini, Kim Jong-un, disebut mulai mengesampingkan kebijakan songun. Meski demikian, belum terkonfirmasi sepenuhnya rencana pencabutan kebijakan yang pernah diterapkan sang ayahnya itu.

Sejumlah pihak menuturkan distribusi pangan yang terpengaruh sistem songun menjadi penyebab kelaparan semakin meluas di kalangan sipil saat ini.

Padahal, berbagai pihak internasional sudah mengulurkan tangan. Terhitung, dalam setahun bisa lima kali bantuan disalurkan.

Sayangnya, banyak warga yang tak menerima bantuan itu. Dari 90 persen bantuan yang ada, 80 persen masuk ke pemerintah dan 10 persen ke kantong militer.



(isa/rds/bac)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER