Rezim Taliban di Afghanistan dilaporkan memiliki daftar komunitas kaum Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ) negara itu yang akan menjadi target untuk dibunuh.
Taliban menganggap komunitas LGBTQ sebagai kaum yang menyimpang dan melanggar dari syariat Islam. Ketika berkuasa pada 1996-2001, Taliban memang menerapkan hukum Islam interpretasi mereka secara brutal dan ketat.
"Saat ini adalah waktu yang paling menyeramkan bagi kami di Afghanistan. Kami tahu pasti bahwa Taliban punya daftar warga LGBTQ yang diidentifikasi dan ingin dibunuh," ucap Direktur Eksekutif Rainbow Railroad, Kimahli Powell, seperti dikutip AFP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Powell, Taliban mendapatkan daftar warga LGBTQ ini dari nama orang-orang yang tengah diusahakan organisasi hak asasi luar negeri untuk dievakuasi dari Afghanistan.
Taliban menggantung empat tubuh pencuri menggunakan crane setelah menghukum mati mereka di kota Herat, Afghanistan, Sabtu (25/9).
Wakil Gubernur Herat, Mawlawi Shir Ahmad Muhadjir, mengatakan tujuan empat jasad itu digantung adalah sebagai 'pelajaran' bahwa pencurian merupakan tindakan yang tak bisa ditoleransi.
Di jasad yang tergantung, ada papan yang bertuliskan, "Pencuri akan mendapatkan hukuman seperti ini."
Taliban menghancurkan patung pemimpin Hazara yang ditetapkan menjadi martir nasional Afghanistan, Abdul Ali Mazari, dan menggantinya dengan replika Al-Quran.
Abdul Danishyar, seorang aktivis di lokasi patung itu berdiri di Bamiyan, mengatakan bahwa Taliban menghancurkan patung Mazari menggunakan granat pada Agustus lalu. Mereka kemudian menggantinya dengan replika kitab.
Taliban mengancam akan menggantung seorang jurnalis di alun-alun kota jika jurnalis tersebut masih menulis cerita tentang pemukulan dan penggeledahan rumah yang dilakukan kelompok itu.
Beberapa jurnalis juga mengatakan otoritas lokal Taliban langsung menghubungi para jurnalis yang sebelumnya menulis cerita pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan kelompok itu.
Akibat ancaman ini, banyak media di Afghanistan menutup kantor mereka dan hanya menerbitkan artikel secara online karena takut akan balas dendam, dikutip dari The Independent.
(pwn/has)