Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah interim Afghanistan, Taliban, mengizinkan para remaja perempuan kembali bersekolah di wilayah pelosok seperti Provinsi Ghazni.
Ghazni, merupakan wilayah yang sejak lama dikuasai Taliban. Di daerah itu pula mereka juga disebut mengizinkan pelajar perempuan bersekolah.
Di salah satu desa provinsi itu, Nawabad, sekolah dijalankan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif di negara itu selama empat dekade, Komite Swedia untuk Afghanistan (SCA).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenyataan tersebut bertolak belakang dengan aturan yang diterapkan Taliban di Kabul dan wilayah lain yang terpantau pemerintah pusat.
"(Taliban) muncul dan meninjau murid dan kelas-kelas. Mereka bahagia karena kami semua mengenakan hijab," ujar salah satu pengajar muda di sekolah itu, Forozoan, kepada AFP, Selasa (7/12).
Di beberapa provinsi, pihak berwenang Taliban telah dibujuk agar membuka kembali sekolah, namun jutaan pelajar perempuan memilih berhenti sekolah.
Di desa lain, Langar, hanya ada kelas untuk anak perempuan dan perempuan muda dalam proyek lain yang dijalankan SCA.
"Saat Taliban mengambil alih kekuasaan Kabul, kami tak punya harapan mereka akan mengizinkan (anak perempuan) sekolah, tapi kenyataanya mereka izinkan," kata pelajar perempuan berusia 18 tahun, Mahida.
Kelas tempat Mahida menuntut ilmu, berisi perempuan yang berusia 18-26 tahun, yang kehilangan pendidikan. Kini, mereka tengah mempersiapkan ujian akhir tahun.
"Kami takut ke sekolah. Kami tidak mau keluar rumah karena ada perang," tutr Mahida.
Sementara itu,semua perempuan di Langar berharap bisa melanjutkan studinya agar impian menjadi dokter, pengajar, dan insinyur terwujud.
Namun, mereka tak tahu apakah mereka bisa mengikuti ujian masuk ke perguruan tinggi atau tidak.
Taliban masih menepikan peran perempuan di Afghanistan, baca di halaman berikutnya...
Sejak Agustus, Taliban melarang perempuan dan anak perempuan sekolah serta bekerja. Mereka bahkan mengatur cara pakaian sampai ruang gerak perempuan.
Padahal, tak lama usai berhasil merangsek ke istana presiden di Kabul, Taliban berjanji akan menghargai hak warga sipil utamanya perempuan.
Bahkan sebelum Taliban menguasai Afghanistan, banyak perempuan di Provinsi Ghazni kehilang pendidikan menengah karena masalah seperti jarak, kemiskinan, pernikahan dini dan konflik yang terjadi di Afghanistan.
Sekitar enam kilometer di desa terpencil, Jangalak, gadis berusia 19 tahun yang bernama Zahra turut menghadiri kelas dari SCA.
Taliban mengizinkan dia dan beberapa orang lain bersekolah meskipun pelajaran mengenai kewarganegaraan dan patriotisme diganti pelajaran agama.
"Saya lihat Taliban setiap hari saat saya tiba di sekolah, (Taliban) tak bermasalah dengan kita," tutr Zahra.
Namun, di beberapa wilayah lain, pelajar perempuan lain yang sebelumnya sudah terdaftar di sekolah negeri tak bisa keluar rumah usai Taliban mengambil kendali Afghanistan.
Data kementerian pendidikan Afghanistan pada 2106 menunjukkan hanya satu dari lima perempuan Afghanistan yang bisa baca-tulis. Angka ini jauh jika dibandingkan dengan laki-laki yang bisa baca tulis mencapai 60 persen.
Wakil Kepala kebudayaan provinsi Ghazni, Mansoor Afghan, membenarkan penangguhan soal sekolah.
"Kami harus mencari uang untuk membayar gaji para guru," kata Mansoor.
kurikulum sekolah juga perlu dinilai baik atau buruknya, dan lebih banyak guru yang dipekerjakan.
Juru bicara Taliban, Suhail Shaheen memperkirakan sekolah menengah atas akan dibuka bagi perempuan saat musim semi.
Bahkan jika itu terealisasi, langkah yang diinginkan para gadis di Langar dan Nawabad untuk masuk ke universitas dan menjadi apapun yang mereka mau tak bisa tercapai.
"Kami berharap mereka akan membuka kembali perguruan tinggi dan saat kami selesai dari SMA, kami bisa masuk kampus tanpa halangan," ujar Shafiqa, yang bercita-cita menjadi dokter.