Sebelum menjadi negara, Somalia menempuh jalan panjang untuk meraih kemerdekaan. Hingga akhirnya pada 1960, mereka mendapat kemerdekaan, dengan nama Republik Somalia. Mereka kemudian menerapkan sistem demkorasi parlementer sampai tahun 1969.
Setelah itu, angkatan bersenjata mengambil alih kekuasaan dan berpindah haluan menjadi negara sosialis. Undang-undang baru terbentuk pada 1979.
Kemudian pada 1986 terjadi pemberontakan, saat eks Presiden Somalia, Siad Barrre menyerang klan-klan penentang pemerintah. Lalu pada 1991, ia angkat kaki dan menandai berakhirnya kekuasaan dirinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di masa pemerintahan Barre yang otoriter, aturan hukum digembosi dan penggunaan kekuasaan negara secara brutal hanya untuk menjaga elite tetap berkuasa.
Somalia, menurut Marqaati, tak belajar dari sejarah. Sebagian besar investasi digunakan untuk memperkuat negara tanpa memperkuat aturan hukum atau membangun institusi yang akuntabel.
Langkah ini dianalogikan dengan membangun mobil tanpa fitur keselamatan semisal airbag.
"Tanpa lembaga yang diperlukan untuk memeriksa kekuatan pasukan keamanan, kepercayaan publik pada negara dan kesediaan mereka menghormati supremasi hukum berkurang," demikian pernyataan Marqaati.
Fakta itu berlangsung karena kekuatan negara digunakan untuk menentang lawan politik dan hukum berpihak pada pembayar suap.
Laporan Marqati terkait data-data suap tidak hanya sangat tinggi di seluruh negeri, tetapi juga jauh lebih tinggi di daerah-daerah.
Hal ini menunjukkan bahwa investasi yang tidak proporsional dalam keamanan yang bertentangan dengan supremasi hukum dan demokratisasi telah mengakibatkan pasukan keamanan tidak bertanggung jawab.
Sementara itu, pendonor asing Somalia telah menghabiskan banyak biaya untuk mendukung demokratisasi di Somalia. Sayangnya, tak banyak perubahan dalam sembilan tahun terakhir.
Tanpa pemerintahan yang akuntabel, tidak mungkin masyarakat mempercayai pemerintah sebagai wakil kepentingan mereka.
(isa/bac)