Wang Yu adalah salah satu pengacara hak asasi manusia paling terkemuka di China.
Dia telah menangani beberapa kasus sensitif dalam politik, mewakili aktivis, cendekiawan, praktisi Falun Gong, petani, dan pembuat petisi dalam kasus-kasus yang melibatkan beragam isu. Di antaranya hak-hak perempuan dan anak-anak, dan hak beragama, kebebasan berekspresi, berkumpul, dan asosiasi.
Wang Yu berada dalam pengawasan dan dilarang keluar oleh otoritas China. Usai menangani kasus pelanggaran hak pada 2011, ia mengalami pelecehan, ancaman, penggeledehan, dan penyerengan fisik dari kepolisian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak 1978, Julienne Lusenge telah menjadi aktivis perempuan terkemuka di Republik Demokratik Kongo (DRC). Ia memerangi kekerasan berbasis gender (GBV) dan mempromosikan hak-hak perempuan dan anak perempuan dalam situasi konflik.
Pada 2000, ia mendirikan Solidaritas Perempuan untuk Perdamaian dan Pembangunan Integral, organisasi terkemuka di Kongo yang membela hak-hak perempuan dan anak perempuan dari impunitas kekerasan berbasis gender.
Kesaksian Julienne telah berkontribusi pada adopsi perjanjian internasional seperti PBB 1820, yang mengakui kekerasan seksual sebagai senjata perang.
Julienne memanfaatkan perhatian komunitas internasional untuk mengakui dan bertindak tegas menangani tingkat kekerasan seksual yang menghancurkan warga Kongo DRC.
Hakim Guetmala, Erika Lorena Aifan, adalah hakim pengadilan yang bekerja di Pengadilan Kriminal Berisiko Tinggi dengan tanggung jawab atas kejahatan berdampak tinggi.
Dia emimpin kasus korupsi dan kekejaman perang tingkat tinggi, yang mengarah pada pencemaran nama baik dan ancaman kekerasan terhadapnya.
Terlepas dari tantangan ini, Aifan tetap bertahan sebagai hakim Guatemala yang bebas dari pengaruh politik. Dia telah menunjukkan tekad dan ketabahan dalam menegakkan supremasi hukum di Guatemala.
Aifan disebut menjadi ikon di Guatemala dalam perang melawan korupsi, upaya untuk meningkatkan transparansi, dan tindakan untuk meningkatkan kemandirian di sektor peradilan.
Shohreh Bayat menaiki pesawatnya dalam perjalanan menuju Kejuaraan Dunia Catur Wanita 2020, dia tidak menyangka bahwa dia mungkin akan melihat negara asalnya Iran untuk terakhir kali.
Shohreh, wasit catur internasional Kategori A wanita pertama di Asia yang difoto di Kejuaraan tanpa terlihat jilbabnya. Penutup kepala itu adalah pakaian wajib di Iran.
Dalam waktu 24 jam, Federasi Catur Iran - yang sebelumnya dipimpin oleh Shohreh - menolak menjamin keselamatan perempuan itu jika kembali ke Iran tanpa meminta maaf terlebih dahulu.
Khawatir akan keselamatannya dan tidak mau meminta maaf atas insiden tersebut, Shohreh membuat keputusan yang menyayat hati untuk mencari perlindungan di Inggris. Ia meninggalkan suaminya - yang tidak memiliki visa Inggris - di Iran.
Sejak saat itu, Shohreh memilih menjadi pembela hak-hak perempuan daripada takut dengan ancaman pemerintah Iran.
Selain nama-nama itu, perempuan berani lain yang mendapat ganjaran dari Amerika yakni Aktivis Somalia Zahra Mohamed Ahmad, Perawat Spanyol Alicia Vacaas Moro, Hakim Sri Lanka Ranita Gnanarajah.
Kemudian Aktivis Turki Canan Gullu, Muskan Khatun, Aktivis HAM Kolombia Mayerlis Angarita dan oposisi Presiden Belarusia, Maria Kalesnikava.
(isa/bac)