Taliban Serukan Negara Muslim Akui Pemerintahan Afghanistan

CNN Indonesia
Kamis, 20 Jan 2022 12:38 WIB
Rezim Taliban berharap negara Muslim bisa menjadi yang pertama mengakui pemerintahan kelompoknya di Afghanistan.
Rezim Taliban berharap negara Muslim bisa menjadi yang pertama mengakui pemerintahan kelompoknya di Afghanistan. (Foto: AFP/KARIM JAAFAR)
Jakarta, CNN Indonesia --

Perdana Menteri Afghanistan di rezim Taliban, Mohammad Hassan Akhund, meminta negara mayoritas Muslim menjadi yang pertama untuk mengakui pemerintahan mereka, Rabu (19/1).

Permintaan ini muncul setelah Afghanistan terancam mengalami kelumpuhan ekonomi dan ancaman kebangkrutan.

"Saya menyerukan kepada negara Muslim untuk mulai mengakui kami secara resmi. Lalu, saya berharap kita bisa berkembang dengan cepat," kata Akhund dalam sebuah konferensi di Kabul seperti dikutip dari AFP.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami tidak menginginkan (pengakuan) untuk berkuasa. Kami menginginkan itu untuk rakyat kami," lanjutnya.

Akhund juga mengatakan Taliban telah memenuhi seluruh kondisi yang diperlukan dengan mengembalikan ketertiban dan keamanan.

Pertemuan dengan 57 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OIC) tidak membuahkan pengakuan bagi Taliban.

Bahkan, Menteri Luar Negeri Taliban tidak diikutsertakan dalam foto resmi acara itu.

Meski demikian, OIC meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk berusaha membuka aset Afghanistan yang dibekukan, sambil mendesak Taliban mematuhi aturan internasional terkait jaminan hak asasi manusia.

Sampai saat ini, masih belum ada satu pun negara yang mengakui pemerintahan Taliban sejak kelompok itu mengambil alih kekuasaan di Afghanista pada Agustus lalu.

Meski Taliban berjanji akan lebih toleran dalam menerapkan hukum Syariah, kelompok ini masih menerapkan aturan ketat hukum Islam, terutama terkait hak perempuan.

Afghanistan terancam mengalami krisis kemanusiaan yang diperparah atas penggulingan kekuasaan yang terjadi Agustus 2021.

Sebab, kebangkitan Taliban membuat berbagai negara Barat membekukan bantuan internasional dan akses terhadap aset bank sentral Afghanistan senilai miliaran dolar di lur negeri.

Negara ini hampir seluruhnya bergantung dengan bantuan asing pada masa kepemimpinan pemerintah dibantu Amerika Serikat.

Organisasi Buruh Internasional mengatakan setengah jutaan warga Afghanistan kehilangan pekerjaan mereka di kuartal ketiga 2021. Angka ini diprediksi akan meningkat hingga 900 ribu di pertengahan tahun ini.
PBB juga memperingatkan setengah dari 38 juta warga Afghanistan akan mengalami kekurangan pangan, mengingat kemiskinan dan kekeringan yang semakin parah.

Dewan Keamanan PBB juga sempat mengadopsi resolusi AS yang mengizinkan beberapa bantuan dikirim ke warga Afghanistan, tanpa melanggar sanksi internasional. Namun, kelompok bantuan kemanusiaan dari Barat terus mendesak komunitas internasional untuk mengeluarkan lebih banyak dana.

"Situasi kami masih bergantung pada Amerika. Ini akan menjadi lebih baik jika mereka memutuskan memberhentikan sanksi," kata mantan polisi di Afghanistan, Mohammad Moktar Nasseri, yang kini menjual sayur di pasar Kabul.

Para donor menghadapi situasi sulit, di mana mereka harus memberikan bantuan tapi tak masih enggan mengakui rezim Taliban.

Banyak anggota kabinet interim Taliban, termasuk Akhund, yang masuk dalam daftar sanksi internasional.

Bagi komunitas internasional, perlindungan hak perempuan dan pemerintah inklusif merupakan salah satu isu penting. Namun, Wakil Perdana Menteri Taliban, Abdul Salam Hanafi, mengatakan pemerintah "tidak akan mengorbankan kemandirian ekonomi Afghanistan dengan tunduk pada syarat-syarat pendonor."

Pakistan, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab adalah negara-negara yang mengakui pemerintahan Taliban sebelumnya pada 1996 lalu.



(pwn/rds)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER