Warga Tonga mulai kembali beraktivitas pada Sabtu (22/1), seminggu setelah tsunami yang terjadi pada akhir pekan lalu. Warga mulai membangun kembali rumah mereka yang porak-poranda setelah diterjang tsunami akibat letusan gunung berapi bawah laut pekan lalu.
Seperti yang dilaporkan PBB, erupsi gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai pada pekan lalu telah memicu gelombang tsunami yang menyapu hampir 80 persen wilayah negara kepulauan Pasifik tersebut.
Tak hanya itu, abu vulkanik beracun juga mencemari pasokan air minum, menghancurkan tanaman warga dan dua desa di kawasan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga saat ini, berbagai bantuan kemanusiaan terus diupayakan menyusul kabel bawah laut yang menghubungkan Tonga ke seluruh dunia terputus.
Jurnalis Tonga, Marian Kupu mengatakan sebagian besar penduduk setempat bersikeras untuk tetap tinggal menyusul upaya pemulihan besar-besaran sedang dimulai.
"Kami ingin tinggal di sini di negara kami karena inilah yang mengidentifikasi kami sebagai orang Tonga. Kami ingin membangun kembali negara kami dan bersatu dan maju terus," kata Kupu kepada AFP, Sabtu ini.
Dalam letusan pada pekan lalu, diperkirakan satu kilometer kubik material vulkanik dimuntahkan dari gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai.
Para ahli memperkirakan gunung berapi tersebut tetap aktif selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan ke depan.
"Rakyat Tonga akan membutuhkan dukungan berkelanjutan untuk menanggapi bencana skala ini," kata Sione Hufanga, Spesialis Koordinasi PBB di Tonga.
"Masyarakat Tonga masih kewalahan dengan besarnya bencana," imbuhnya.
Tonga menempati urutan ketiga sebagai negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia. Terlepas dari risiko itu, jurnalis Tonga, Marian Kupu, mengatakan sebagian besar warga Tonga memilih tetap tinggal di kawasan ini.
"Perasaan bangga yang kami miliki di sini, bahwa kami tidak ingin meninggalkan negara tempat kami dilahirkan dan dibesarkan," katanya.
Sementara itu, seorang warga lokal dari pulau Atata yang selamat dari terjangan tsunami, mengatakan kepadanya bahwa dia akan kembali ke pulau itu bahkan setelah porak-poranda diterjang tsunami.
"Dia menjelaskan bahwa dirinya ingin kembali karena orang tuanya dimakamkan di sana, dia lahir di sana dan hidupnya di sana," kata Kupu.
"Dia berharap pemerintah atau siapa pun akan membantu membangun kembali pulau kecilnya sehingga dia bisa kembali," imbuhnya.
Sementara itu, pasukan pertahanan Jepang, Selandia Baru dan Australia mulai mengirimkan pasokan bantuan, terutama air bersih ke Tonga. Namun, seorang menteri Australia mengatakan upaya distribusi bantuan ke warga Tonga terhalang sejumlah peraturan mengingat Tonga adalah kawasan bebas Covid-19.
Mulai dari kontrol perbatasan yang ketat, distribusi bantuan tanpa kontak, dan masa karantina tiga minggu untuk personel kemanusiaan yang ingin memasuki negara itu.
"Ini adalah waktu yang sangat, sangat sulit bagi masyarakat Tonga," kata Menteri Pembangunan Internasional Australia Zed Seselja.
"Tapi, kami sangat menghormati keinginan pemerintah Tonga untuk tidak menambahkan krisis Covid ke krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh tsunami".
Dalam laporan Kyodo News pada Sabtu (22/1), sebuah pesawat Jepang membawa air minum ke kerajaan Tonga menggunakan tiga pesawat lain dan sebuah kapal pengangkut yang membawa pembersih bertekanan tinggi.
Sementara itu, kapal angkatan laut Selandia Baru mengirim helikopter yang mengangkut air, terpal, susu bubuk, dan peralatan teknik sedang dalam perjalanan ke Tonga dan diperkirakan akan tiba awal pekan depan.
Menteri Pertahanan Peeni Henare mengatakan semua pengiriman akan dilakukan tanpa ada kontak fisik sesuai dengan protokol Covid-19 di Tonga.
Sebelumnya, pemerintah Tonga menyebut bencana alam ganda yakni, letusan gunung berapi dan tsunami sebagai "bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya" dan menyatakan keadaan darurat nasional selama hampir satu bulan.
Letusan itu merusak kabel komunikasi bawah laut yang vital, dan diperkirakan akan terjadi setidaknya satu bulan sebelum semua layanan komunikasi pulih sepenuhnya.
Sementara itu, sebagian komunikasi telah mulai berfungsi meskipun penyedia jaringan seluler Digicel mengatakan tingginya jumlah panggilan ke pulau itu menyebabkan penundaan.
(nly/agn)